Rabu, 17 Juli 2013

DIA

Dia itu sosok yang mendekati sempurna. Cucu Adam yang elok. Hidung mancungnya, bibir tipisnya, rambut hitam tebalnya. Tatap matanya bagaikan anak panah sang Eros. Begitu lembut dan damai, namun tajam saat melihat lekat. Ia memiliki kharisma rupawan yang terpancar. Tapi entah aura gelap apa yang telah menyelimuti raga tersebut. Bagai terkungkung sendiri di dalam lubang yang begitu gelap dengan dinding-dinding tanpa celah. Sendirian, tanpa cahaya, dan tanpa kehangatan.
“Bro, nomor ini gimana caranya?” Tanya teman sebangkunya, mengendurkan kerutan dahi yang ia bentuk saat menatap soal-soal berbau rumus itu.
“Yang mana?”
“Yang ini, nomor 3. Pake rumus apa ya?”
“Oh itu pake rumus interferensi cahaya. Pertama cari dulu lamdanya. Di soal kan diketahui gelombang sama waktunya” Jelasnya.
“Wah iya kepikiran aja lo pake rumus itu! Thank’s ya!”
Ia kembali tenggelam dalam soal-soal yang membelit pikirannya. Mengajak otaknya bergelut dengan rumus-rumus itu lagi. Matanya bahkan hampir jarang berkedip. Melihatnya yang seperti ini, membuat tatapanku tak kalah lekat dengan dirinya yang menatap lembaran kertas-kertas itu. Seakan debaranku tak mau berhenti, jika saja aku di anugrahi jantung oleh Tuhan.
Keseriusannya terpecah saat suara nyaring bergema dari speaker kelas. Tanda bahwa sekolah hari ini telah usai. Ia rapihkan buku-buku serta alat-alat tulisnya lalu ia masukkan segala perkakas belajarnya ke dalam tas ranselnya.
“Eh, eh, ikut futsal kagak lo?” Tanya temannya sambil menarik bahunya dari belakang. Membuat langkahnya terhenti ketika sejengkal lagi keluar dari kelasnya itu.
“Enggak kayaknya. Mau langsung balik gue” Jawabnya tak enak hati.
“Oh okedeh” Ucap temannya dengan nada sedikit kecewa.
Dan ia pun kembali melangkah, menuju dimana mesin berodaranya terparkir. Kuamati ia tengah merogoh sakunya, mengeluarkan kunci serta kartu parkir. Lantas ia ambil helmnya yang tergantung di spion motornya dan ia naiki motornya itu. Saat mulai menstarter motornya, kuperhatikan ekspresinya tersirat keterkejutan. Kehadiran seorang wanita yang tiba-tiba berdiri didepannya menjadi penyebab dari ekspresi itu.
“Kenapa kamu tidak ikut pergi dengan teman-temanmu saja?” Tanya wanita itu dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
Penampilannya agak lusuh serta wajahnya sedikit pucat. Kurasakan auranya begitu gelap. Mungkin tak akan ada yang menyadari keberadaannya jika ia tak menampakkan diri atau membuka mulutnya untuk berbicara.
Kulihat dia mendelik dan mengabaikan wanita itu dengan pertanyaannya. Terbukti dengan dirinya yang tetap menjalankan motornya yang sudah menyala.
“Jangan pergi!” Cegat wanita itu. “Jangan lewati jalan itu! Aku memperingatkanmu jika kau masih ingin tetap hidup” Ucapnya dengan senyum tipis.
“Jangan percaya dia. Hidup-matimu tidak ditentukan olehnya” Bisikku.
Kulihat dia tersenyum dan kembali mengendarai motornya. Meninggalkan wanita itu tanpa berkata sepatah kata pun. Tak berapa jauh, ia melirik ke kaca spion dan wanita tadi telah lenyap dari tempatnya berdiri.
Ia kembalikan pandangannya ke depan, melanjutkan perjalanannya menuju tempat dimana ia sebut “rumah”. Di tengah jalan besar yang cukup sepi, tiba-tiba seekor kucing putih melintas dengan cepat. Dia pun sontak menarik rem dengan kedua tangannya. Sempat terangkat sedikit ban belakang motornya akibat rem dadakan itu. Kucing itu dan ban motornya tak bisa saling mengelak. Pertemuan keduanya membuat si kucing putih itu terlindas, tergeletak di aspal dengan bermandikan darah. Bulu yang semula berwarna putih cemerlang, kini terciprat warna merah tua disana-sini. Kucing itu tak berdaya, ia seolah sekarat sambil merintih sakit. Dia pun hendak turun dari motornya, mencoba mendekati kucing putih itu yang nyawanya tak mungkin tertolong lagi.
“Jangan! Lanjutkan saja perjalanamu” Bisikku mencegahnya.
Seolah patuh, dia pun kembali melanjutkan perjalanannya dengan meninggalkan kucing putih yang tergeletak di tengah jalan besar beraspal itu. Bukan, bukan kucing putih yang tadi di jalan besar itu. Tak ada apapun disana. Bahkan setetes darah dari kucing itu pun tak terlihat. Tanpa dia tahu, sebuah papan reklame di jalan itu jatuh tepat dimana ia meninggalkan tempat itu.
Jalanan saat itu tak begitu ramai. Langit kemerahan perlahan menjadi gelap. Awan-awan saling bergumul diselingi dengan gemuruh langit-langit kegelapan. Titik demi titik penyokong kehidupan makhluk bumi mulai turun. Seakan mengajak teman-temannya untuk ikut melesat turun ke bumi bersama-sama, dalam waktu sekejap pun mereka datang berama-ramai. Membuat para makhluk yang disebut manusia itu kocar-kacir mencari tempat meneduh.
Dia pun ikut basah kuyup. Seragam SMA-nya tak lagi sekaku tadi. Bahkan bau asap jalanan yang melekat kuat di seragam itu telah luluh bersamaan diguyurnya air hujan. Ia meminggirkan motornya dan memarkirkannya di depan sebuah toko. Cepat-cepat ia turun dari motornya dan berlari ketempat yang bisa menghalau air hujan yang tengah turun deras. Ia gosok-gosok lengan tangannya secara bersilang, sekedar untuk menghalau hawa dingin yang mulai menusuk menembus pori-pori kulitnya. Tiba-tiba telepon selulernya bergetar di sekitar kantong bajunya. Ia lepas helmnya yang masih setia melindungi kepala empunya dan ia sangkilkan tali helm itu ke tangan kirinya. Dengan cepat ia raih handphone dibalik sakunya dan langsung menekan tombol hijau.
“Halo?”
“Halo, Nak. Kamu dimana?”
“Lagi neduh, Bu. Kehujanan. Ada apa?”
“Kamu bisa pulang cepat sekarang? Tadi Bi Iyem telepon, katanya Ayahmu jantungnya kumat lagi. Tidak ada yang bisa antar ke Rumah Sakit. Ibu masih banyak urusan, tidak bisa langsung pulang.”
“Iya, Bu. Aku usahain.”
“Tolong ya, Nak. Nanti ibu telepon lagi.”
Sambungan telepon itu terputus. Dia menjauhkan telepon genggamnya dari jangkauan telinganya. Dia pun menghela napas panjang, dibarengi dengan gerakan kepalanya yang mengarah ke langit. Mata itu sungguh sendu menatap langit yang masih menumpahkan segala Rahmatnya yang begitu deras ke bumi. Ia palingkan pandangannya dari langit dengan gumpalan awan hitam itu. Ia masukkan kembali handphonenya kedalam saku bajunya dan langsung memakai helmnya lagi.
“Jangan pergi! Tunggu hingga hujan ini reda” bisikku.
Seolah merespon bisikkanku, ia pejamkan matanya dan tersenyum. Tidak! Senyumnya saat ini bukanlah senyum yang biasa ia berikan! Bukan senyum lega atau senyum mengiyakan. Senyumnya kali ini seolah berkata “Maaf”. Ia buka kelopak matanya dan langsung menatap lurus. Bola matanya seolah menunjukkan kebulatan tekadnya. Tekad apa maksudnya? Lalu apa maksud dari senyumnya tadi? Tak perduli dengan pertanyaan dalam benakku, dia langsung menaiki motornya. Secepat kilat menyalakannya dan langsung melaju menghadang dinginnya tiupan angin dan derasnya hujan kala itu.
Jangan! Kumohon jangan pergi! Mengapa kau melakukan hal ini? Mengapa kau tak mau mendengarkan perkataanku? Apa demi lelaki tua itu? Lelaki yang kau sebut sebagai “Ayah”? “Ayah” yang hingga detik ini tak mengakuimu sebagai anak karena lelaki tua itu tak ada garis darah denganmu! Kumohon jangan lakukan hal ini! Atau demi wanita itu? Wanita yang selalu meninggalkanmu, selalu lepas tanggung jawab atas dirimu, selalu melimpahkan segala masalahnya pada dirimu? Wanita yang kau panggil dengan sebutan “Ibu” itu! Kumohon, jangan korbankan dirimu hanya demi orang seperti mereka! Kumohon… berhentilah!
TIN!! TIIIN!!!
BRAAK….!!
Dia dan tatapan tajamnya. Dia dan senyum tulusnya. Dia dan paras rupawannya. Dia dan aura keberadaannya. Dia dan segala tentang dirinya. Kini semua itu musnah dalam sekejap. Terkubur oleh cucuran darahnya yang terus mengalir. Lautan kemerahan bercampur rintik hujan menggenangi jalan besar itu. Kerumunan orang menatap iba.
Aku yang disini ikut menangisi dia. Meski tak seorang pun mendengarnya, meski tak seorang pun mengetahuinya. Aku yang disini adalah aku yang mengagumi dirinya. Dia yang hidup dalam cerita ini, dia yang bernapas dalam tulisan ini, dia yang tercipta dari benakku ini, dia yang hanya segelintir bagian dari khayalan dalam hidupku, dia yang tak pernah ada, tapi aku mengagumi keberadaan dia dalam diriku.


END

Selasa, 11 Juni 2013

Drama Sejarah : Detik-detik Menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

9 Agustus 1945 Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta, selaku Ketua dan Wakil PPKI, serta Dr. Radjiman, mantan ketua BPUPKI, menuju Saigon.
Soekarno            : "Kita mendapat undangan Jenderal Terauchi, Panglima Tentara Selatan, untuk membicarakan persiapan kemerdekaan"
Hatta                  : "Baiklah kita harus segera berangkat"
10 Agustus 1945 Sementara itu di Indonesia, Sutan Syahrir mendengar kabar lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada sekutu. Berita tersebut pun menyebar.
Syahrir                : "Jepang telah menyerah kepada sekutu!"
Shodanco           : "Benarkah? Artinya kita harus bersiap-siap untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia"
Jusuf Kunto       : "Dan menolak segala bentuk “hadiah” kemerdekaan dari Jepang!"
12 Agustus 1945 Di Dalath (Saigon) Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Dr. Radjiman diterima oleh Jenderal Terauchi dalam suatu upacara sederhana.
Terauchi             : "Selamat datang di Saigon! Maaf memanggil kalian datang jauh-jauh ke tempat ini"
Soekarno            : "Kami menghargai undangan Anda. Lalu apa yang hendak Anda bicarakan pada kami mengenai kemerdekaan Indonesia?"
Terauchi             : “Pemerintah agung di Tokyo telah memutuskan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan mengenai pelaksanaan kemerdekaan terserah kepada PPKI”
Soekarno            : “Kami ingin kemerdekaan secepatnya."
Terauchi             : “Kami mengusulkan Indonesia merdeka pada tanggal 24 Agustus”
14 Agustus 1945 Rombongan Soekarno-Hatta tiba kembali di Jakarta. Ketika Hatta tiba di rumah, Sutan Syahrir sudah menunggu di sana untuk membicarakan soal kemerdekaan.
Syahrir                : "Bagaimana hasil pertemuan di Dalat?
Hatta                  : "Jepang memutuskan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan mengenai pelaksanaan kemerdekaan terserah kepada PPKI”
Syahrir                : "Itu artinya keputusan pelaksanaan kemerdekaan ada di tangan PPKI?"
Hatta                  : “Soal kemerdekaan semata-mata di tangan kita, hanya penyelenggaraannya diserahkan kepada PPKI”
Syahrir                : “Jepang telah meminta damai kepada sekutu. Oleh karena itu, pernyataan kemerdekaan jangan dilakukan oleh PPKI, sebab Indonesia merdeka yang lahir semacam itu akan dicap oleh sekutu sebagai buatan Jepang. Sebaiknya Bung Karno sendiri yang menyatakannya sebagai pemimpin rakyat atas nama rakyat dengan pernyataan corong radio”
Hatta                  : “Saya setuju. Kemerdekaan selekas-lekasnya, tetapi saya tidak yakin bahwa Bung Karno mau mengambil langkah bertindak sendiri mengumumkan proklamasi”
Selanjutnya Hatta dan Syahrir pergi ke tempat Ir. Soekarno untuk membicarakan masalah tersebut.
Syahrir                : "Bung harus memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia secara sendiri"
Soekarno            : “Saya tidak berhak bertindak, hak itu adalah hak dan tugas Panitia Persiapan Kemerdekaan yang saya menjadi ketuanya. Alangkah janggalnya di mata orang, setelah kesempatan terbuka untuk mengucapkan Kemerdekaan Indonesia saya bertindak sendiri melewati Panitia Persiapan Kemerdekaan yang saya ketuai”
15 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Belanda. Sutan Syahrir mendengar kabar tersebut melalui BBC.
Soekarno-Hatta disertai Mr. Soebardjo pergi mencari informasi mengenai kekalahan Jepang ke Genseikanbu (Kantor Pemerintahan Militer), tetapi di sana tidak ada pejabat yang dapat ditemui karena mereka dipanggil ke Genshireibu (Markas Panglima Tertinggi Tentara)
Soekarno            : "Tempat ini sepi. Tidak ada orang yang dapat kita mintai informasi tentang kekalahan Jepang"
Hatta                  : "Ya, tidak ada pejabat yang dapat ditemui"
Soebardjo           : "Bagaimana kalau Bung-Bung sekalian pergi ke rumah Laksamana Muda Maeda Tadashi, Kepala Kantor Penghubung Angkatan Laut (Bukanfu), untuk mencari tahu tentang kebenaran kekalahan Jepang.
Atas usul Mr. Soebardjo, mereka pergi ke Jalan Imam Bonjol, rumah Maeda.
Maeda                : “Selamat atas keberhasilan pertemuan Anda sekalian di Dalat”
Soekarno            : “Terimakasih, tapi tujuan kami datang kemari bukan untuk hal itu. Kami ingin menanyakan benar-tidaknya berita yang menyiarkan bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu”
Maeda                : “Berita itu disiarkan oleh Sekutu dan saya belum memperoleh berita dari Tokyo, sebab itu saya menunggu instruksi dari Tokyo”
Soekarno            : "Betulkah? Kalau betul seperti itu kami mohon pamit. Terimakasih atas informasinya"
Sesudah meninggalkan tempat Laksamana Maeda, kedua tokoh nasionalis utama itu dapat memperoleh keyakinan bahwa Jepang sungguh-sungguh sudah menyerah.
Soekarno            : “Sepertinya benar adanya bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu.”
Hatta                  : “Kita harus mengadakan rapat PPKI secepatnya”
Soekarno            : “Mr. Soebardjo, saya menyerahi tugas kepada Anda untuk mengatur rapat PPKI besok”
Soebardjo           : “Baik. Rapat akan dilangsungkan di Kantor Dewan Sainyo Kaigi di Pejambon, besok“
Sementara itu, pada saat menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia, di Jakarta terdapat dua golongan yang berbeda dalam memandang tentang cara-cara memproklamasikan kemerdekaan yaitu Golongan Tua dan Golongan Muda. Golongan Tua diwakili oleh Soekarno-Hatta-Soebardjo dalam rencana memproklamasikan kemerdekaan memerlukan adanya rapat PPKI, sedangkan golongan Muda menghendaki untuk membebaskan diri dari PPKI yang dianggap bentukan Jepang.
Pukul 20.00 Golongan Muda mengadakan pertemuan di gedung Laboratorium Bakteriologi Jl. Pegangsaan Timur 16.
Sukarni               : "Kita tidak bisa berdiam diri seperti ini terus!"
Sayuti Melik       : "Ya, Benar! Kalau tidak, kita tidak akan bisa merdeka untuk selamanya!"
Syahrir                : "Kita harus menemui Bung Karno dan Bung Hatta untuk mendesak mereka agar mereka mau memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia!"
Pukul 22.00 Golongan Muda mendatangi Bung Karno di rumahnya di Jl. Pegangsaan Timur 56.
Sukarni               : "Kami menuntut agar malam ini juga Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia melalui corong radio!"
Soekarno            : “Tidak bisa seperti itu. Jepang sudah mengambil keputusan untuk memerdekakan Indonesia, dan esok pagi tanggal 16 Agustus PPKI akan bersidang membicarakan kemerdekaan”
Hatta                  : “Ya, kita tidak bisa mendahului Proklamasi Kemerderkaan sebelum sidang bersama PPKI. Kita harus membicarakannya besok bersama anggota PPKI lainnya"
Syahrir                : “Itu tidak perlu karena akan menggambarkan bahwa Indonesia merdeka buatan Jepang!”
Sayuti Melik       : “Sebab itu malam ini juga Bung Karno sebagai pemimpin rakyat harus memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dari genggaman Jepang”
Sukarni               : “Sebelum jam 22.00 penyataan itu mesti terjadi!”
Soekarno            : “Pendapat kita tidak dapat disesuaikan”
Hatta                  : “Sebaiknya untuk pertemuan kali ini kita bubarkan saja”
Para pemuda kemudian mengadakan pertemuan di Jl. Cikini 71, merundingkan langkah-langkah selanjutnya.
Sukarni               : "Sepertinya Bung Karno dan Bung Hatta mulai teracuni oleh Jepang"
Shodanco           : "Ya, mereka tidak berani mengambil keputusan sendiri dan segala hal menyangkut kemerdekaan harus melewati PPKI. Sedangkan PPKI sendiri adalah badan buatan Jepang!"
Sayuti Melik       : "Mereka adalah tokoh yang penting bagi kita. Tanpa mereka, Proklamasi kemerdekaan tidak akan terjadi!"
Shodanco                       : "Kita harus melakukan sesuatu agar Bung Karno dang Bung Hatta tidak semakin teracuni oleh Jepang"
Syahrir                : "Bawa Bung Karno dan Bung Hatta menyingkir ke luar kota di daerah tempat rakyta dan tentara (PETA) siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang timbul jika proklamasi sudah dinyatakan"
Sukarni               : "Baik. Subuh ini, rencana akan kita jalankan"
16 Agustus 1945 Kira-kira pukul 04.00, Para pemuda-pemuda menjemput Bung Karno dan Bung Hatta. Selanjutnya berangkatlah rombongan Bung Karno dan Bung Hatta disertai Ibu Fatmawati dibawa menuju Rengasdengklok.
Soekarno            : "Ada apa pemuda-pemuda datang kerumah saya subuh ini?"
Shodanco           : "Maaf Bung, Bung beserta isteri harus ikut dengan kami"
Soekarno            : "Akan pergi kemana?"
Subeno               : "Bung tak perlu tau. Mau atau tidak Bung harus ikut dengan kami. Kami akan memaksa Bung baik dengan kekerasan sekalipun"
Peristiwa dibawanya Soekarno-Hatta tersebut disampaikan Sudiro kepada Mr. Soebardjo.
Sudiro                : "Soekarno dan Hatta tidak berada di kota. Sepertinya mereka diculik!"
Soebardjo           : "Apa?! Benarkah begitu? Dimana mereka sekarang!"
Sudiro                : "Maaf, tapi saya tidak tahu. Sepertinya yang melakukan semua ini adalah para pemuda bawah tanah"
Soebardjo           : "Pemuda bawah tanah? Wikana! Ia pasti tau dimana Soekarno dan Hatta berada sekarang"
Sementara itu Soebardjo juga menghubungi Maeda untuk memperoleh dukungan dalam usaha pencarian Soekarno-Hatta.
Soebardjo           : "Saya mendapat kabar bahwa Soekarno dan Hatta diculik"
Maeda                : "Apa?! Bagaimana bisa? Siapa penculiknya? Apa anda tahu dimana mereka berada sekarang?"
Soebardjo           : "Tidak. Saya tidak tahu pasti siapa yang menyembunyikan mereka dan keberadaan mereka sekarang, tetapi saya meminta bantuan kepada anda jika mereka di sembunyikan oleh Angkatan Darat Jepang, maka tolong bebaskanlah mereka"
Maeda                : "Itu pasti akan saya lakukan"
Soebardjo           : "Saya meminta dukungan anda dalam usaha pencarian Soekarno-Hatta"
Maeda                : "Saya berjanji akan berusaha mencari sendiri dengan segala daya dimana Soekarno-Hatta berada"
Sementara itu di Rengasdengklok, saat Soekarno menemani isterinya Fatmawati menyulam bendera merah-putih, Ia diajak keluar untuk berbicara dengan Shodanco Singgih.
Shodanco           : "Mengapa Bung tak mau memproklamasikan Indonesia lebih cepat? Mengapa harus menunggu keputusan dari Jepang lebih dahulu?"
Soekarno            : "Bukan saya tak mau. Saya hanya tidak ingin semua terburu-buru. Memproklamasikan kemerdekaan tanpa persiapan akan menyebabkan pertumpahan darah lagi di Indonesia"
Shodanco           : "Tapi jika keadaannya sudah seperti ini bagaimana, Bung?"
Soekarno            : "Kalau memang semua sudah siap dan kita rencanakan. Saya bersedia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia saat saya sekembali ke Jakarta"
Shodanco           : "Artinya Bung akan langsung mempersiapkan segala proklamasi kemerdekaan jika Bung kembali ke Jakarta?"
Soekarno            : "Ya, karena semua butuh persiapan"
Shodanco Singgih langsung mengabari hal ini pada pemuda bawah tanah. Pada siang hari Soebardjo bertemu dengan Wikana di kantornya. Awalnya Wikana tetap merahasiakan tempat Soekarno-Hatta disembunyikan, tetapi setelah Jusuf Kunto yang diutus untuk mengabari bahwa Soekarno bersedia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia jika ia kembali ke Jakarta datang, akhirnya Wikana bersama-sama dengan Jusuf Kunto memberitahu Soebardjo bahwa kedua pemimpin itu diamankan diluar kota.
Soebardjo           : "Tolong anda beritahu dimana Bung Karno dan Bung Hatta sekarang"
Wikana               : "Saya tidak tahu dimana mereka"
Soebardjo           : "Tak mungkin anda tak tahu"
Jusuf Kunto       : "Ada apa ini?"
Soebardjo           : "Tolong beritahu saya dimana Bung Karno dan Bung Hatta sekarang"
Jusuf Kunto       : "Anda tak perlu khawatir, Bung Karno dan Bung Hatta aman bersama kami. Bung Karno berkata ia akan memproklamasikan Indonesia jika ia kembali ke Jakarta."
Wikana               : "Kami sengaja mengasingkan mereka ke luar kota agar mereka terhindar dari penangkapan Angkatan Darat Jepang"
Soebardjo           : "Kalian juga tak perlu khawatir mengenai keselamatan Bung Karno dan Bung Hatta jika mereka kembali, karena saya percaya dapat mengandalkan dukungan Angkatan Laut andaikata mereka menemui kesulitan dari Angkatan Darat Jepang.
Wikana               : "Baiklah kalau memang begitu adanya. Kami sedikit merasa tenang"
Soebardjo           : "Jadi maukah Anda sekalian memberitahu saya dimana Soekarno-Hatta berada? Saya ingin menjemput mereka"
Wikana               : "Baiklah, Jusuf Kunto yang akan mengantar anda ke tempat Soekarno-Hatta berada sekarang"
Pukul 16.00 Soebardjo akan berangkat ke arah timur dengan ditemani Sudiro dan diantar Jusuf Kunto.
Pukul 18.00 Akhirnya mereka sampai di Asrama PETA Rengasdengklok. Soebardjo bertemu dengan Sukarni dan selanjutnya dihadapkan pada seorang Mayor PETA, Subeno.
Subeno               : "Apa maksud kedatangan Anda kemari?"
Soebardjo           : "Maksud kedatangan saya kemari adalah untuk menjemput Bung Karno dan Bung Hatta kembali ke Jakarta untuk mempercepat proklamasi kemerdekaan"
Subeno               : "Apa jaminannya bahwa proklamasi kemerdekaan akan lebih cepat?"
Soebardjo           : "Proklamasi kemerdekaan paling lambat esoknya tengah hari. Apabila saya gagal, maka saya siap ditembak mati"
Subeno               : "Baiklah anda saya izinkan untuk bertemu mereka"
Soebardjo akhirnya dapat bertemu dengan Soekarno dan Hatta.
Soebardjo           : "Anda berdua harus segera kembali ke Jakarta. Dan anda harus bertemu dengan Laksamana Maeda"
Pukul 21.00 Rombongan sampai di Jakarta. Atas usul Soebardjo, Soekarno menelpon Maeda untuk meminjam rumahnya sebagai tempat rapat.
Soekarno            : "Terimakasih telah mengizinkan kami meminjam rumah anda untuk mengadakan rapat"
Maeda                : "Itu kewajiban saya yang mencintai Indonesia Merdeka"
21.30 Soekarno-Hatta berangkat ke rumah Mayor Jenderal Nishimura (Kepala Departemen Urusan Umum/Somubucho) disertai Maeda.
Soekarno            : "Kami ingin meneruskan rapat pagi tadi yang sempat tidak terlaksana mengenai persiapan kemerdekaan Indonesia"
Nishimura           : "Sekarang sudah lain keadaannya. Mulai pukul satu siang tadi kami tidak boleh lagi mengubah status quo. Pimpinan tentara Jepang sangat sedih bahwa apa yang dijanjikan terhadapn Indonesia Merdeka tidak dapat kami tolong menyelenggarakannya. Dari mulai tengah hari tadi tentara Jepang di Jawa tidak mempunyai kebebasan bergerak lagi. Ia semata-mata alat Sekutu dan harus menurut perintah Sekutu"
Soekarno            : "Pemerintah Tokyo sudah mengakui kemerdekaan Indonesia melalui perantaraan Jenderal Terauchi dan pelaksanaannya diserahkan kepada PPKI yang pada pukul 24.00 nanti akan memulai rapat di rumah Laksamana Maeda"
Nishimura           : "Apabila rapat itu berlangsung tadi pagi akan dibantu. Tetapi setelah tengah hari kami harus tunduk kepada pemerintah Sekutu dan tiap-tiap perubahan status quo tidak diperbolehkan. Jadi sekarang rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia terpaksa kami larang"
Perundingan dengan Nishimura menemui jalan buntu, akhirnya Soekarno-Hatta kembali kerumah Maeda dan memulai rapat PPKI. Rapat PPKI pun dimulai dan menghasilkan naskah Proklamasi.
Soekarno            : “Saya serta Bung Hatta dan Mr. Soebardjo mohon undur diri untuk menyusun naskah Proklamasi”
Soebardjo           : “Mohon untuk Sukarni dan Sayuti ikut dengan kami”
Sayuti Melik       : “Baik”
Diruangan tersebut, Soekarno-Hatta-Soebardjo menyusun naskah Proklamasi. Setelah selesai, Sayuti Melik yang mengetiknya. Selesai di ketik, hasil naskah Proklamasi dibacakan di hadapan para peserta rapat lainnya untuk disetujui. Namun, timbul masalah tentang siapa yang akan menandatangani naskah tersebut.
Syahrir                : “Siapa yang akan menandatangani naskah tersebut?”
Wikana               : “Bagaimana jika anda saja karena anda adalah pemimpin pemuda-pemuda Indonesia. Tanpa kegigihan anda dalam mendesak para golongan tua, mungkin hari ini tidak akan ada”
Syahrir                : “Saya tidak pantas untuk menandatanganinya”
Sukarni               : “Bagaimana jika Bung Karno dan Bung Hatta saja yang menandatangani atas nama Bangsa Indonesia?”
Shodanco           : “Usul yang bagus. Saya setuju. Apa semua setuju?”
Peserta Rapat     : “Ya, kami semua setuju”
Akhirnya naskah Proklamasi ditandatangani oleh Soekarno dan Hatta atas nama Bangsa Indonesia.

17 Agustus 1945 Pukul 10.00 Bung Karno didampingi Bung Hatta membacakan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di halaman rumah kediaman Bung Karno dihadiri oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia.

Selasa, 21 Agustus 2012

Jalanan Saat Malam


Saya agak kesal siang hari ini, tak pergi kemana-mana, tak melakukan hal apa-apa, hanya terkekang oleh tembok-tembok ini.
Saya putuskan untuk pergi sekedar mencari keisengan dan menghabiskan waktu hingga larut malam. Tapi hanya sendiri.

Cukup malam ternyata dan terlanjur merasa ingin sendiri, maka saya lewati malam ini sendirian dengan berjalan kaki.
Namun, sudah berapa ojek yang menepi? Salah kah saya kalau saya hanya sekedar ingin jalan kaki? Bukan saya pelit, bukan juga saya tak punya duit.
Hanya ingin merasa sendiri, mencoba menikmati hal-hal yang menurut saya baru dan selalu luput dari mata ini ketika bersama yang lain.

Langit tidak begitu ramah malam ini. Tak ada bintang, tak ada bulan. Biru kelam. Hanya lampu-lampu jalan dengan sinarnya yang temaram. Atau derum suara kendaraan yg lewat begitu saja.
Pohon-pohon besar di jalan seperti tertidur lelap. Terbiasa dengan sekitarnya yang bising oleh mesin.
Yang saya sadari, trotoar-trotoar jalan dewasa kini hanya sekedar hiasan kota. Mereka begitu tua dan buruk. Kadang tak jarang saya temui bata-batanya berhamburan atau hilang-hilangan. Dan debu-debu serta dedaunan kering tertabur diatasnya.
Saat lampu jalan mulai tak ada, hanya beberapa lampu rumah warga menyala, sempurna lah gelap malam ini.
Saya yang berjalan sekarang hanya berharap ada kendaran lewat dengan lampu depannya. Setidaknya agar saya tak terjeblos oleh aspal-aspal bopeng ini.
Begitu sunyi, begitu sepi. Seolah rumah-rumah, pagar-pagar, tanaman-tanaman mengikuti tuannya beristirahat malam ini.
Saya hanya berjalan pelan-pelan mengikuti langkah kaki ini.
Jalanan dan rumah-rumah begitu tenang, sangat tenang.
Saya mengamat-amati benda-benda mati itu, mereka bagaikan tidur dan tak sadar bahwa saya memperhatikannya. Angin berhembus lembut membelai-belai dedaunan. Yang menguning jatuh dengan tenangnya.
Saya tertunduk mengamati aspal-aspal ini. Cahaya yang agak redup membuat aspal-aspal ini seperti berkelap-kelip. Saya pun terheran-heran, mengapa jalanan-jalanan kotor, tua dan kasar ini bisa berkilauan. Aspal yang berwarna gelap, dan ada kelap kelip di atasnya. Seolah saya sedang menapak diatas langit hitam yang penuh bintang-bintang kecil. Bermain-main dengan bayangan saya diatas langit kegelapan namun berkelip itu.
Malam ini saya tak begitu merasa takut, tak begitu merasa kesepian. Dibalik hal-hal mistis atau pun ketakutan-ketakutan lain karena sendirian, ada hal yang bisa dirasai. Hal yang terkadang luput bahkan tak pernah disadari sekalipun. Dan untuk saya itu adalah hal yang indah. Saya tak merasa harus dikasihani, saya menikmati kesendirian saya dengan jalanan saat malam.

Jumat, 08 Juni 2012

PSYCHO (part 2)


Setelah kejadian itu, sekolah ini tampak seperti sedia kala. Meskipun begitu, aku tetap sedikit merasa kehilangan. Sifa adalah satu-satunya anak yang menganggapku teman. Yah meskipun aku sendiri tak percaya akan teman. Teman itu hanya semu. Ikatan yang palsu. Teman itu hanya sebuah nama ikatan. Tak berarti telah menjadi bagian dari hidup manusia. Dan bagiku tak berpengaruh apapun dalam hidupku. Tapi aku tak keberatan jika Sifa menganggapku teman. Hubungan kami tidak akan berkembang lebih dalam karena ia sudah bahagia di atas sana.
Manusia memang makhluk sosial yang harus berinteraksi dengan sesamanya. Tapi bukan berarti kau harus ketergantungan. Aku tak suka bergantung pada manusia. Kuakui, Aku memang membutuhkan mereka dalam hidup ini, tapi aku tak mau menyebutnya bergantung. Lebih tepatnya "memanfaatkan". Jika ingin terus bertahan hidup, kau harus pintar-pintar memanfaatkan sekitarmu. Maka dari itu aku menutup segala bentuk interaksi. Hubungan ku dengan orang lain hanya kubuat semu. Tak ada ikatan dan tak akan terikat. Aku hanya mengikat diriku sendiri.
Guru ku saat ini tengah menerangkan tentang takdir. Ia bilang takdir dan nasib itu sama dan bisa diubah oleh manusia. Aku tak suka pendapatnya. Nasib manusia memang bisa diubah oleh manusia itu sendiri. Tapi takdir, sudah tercatat bahkan sebelum kita lahir. Takdir hidup kita mulai dari kita lahir hingga kita mati. Menurutku itu lucu. Manusia diciptakan tapi segala hal yang akan ia lakukan sudah tertulis rapih dalam skenario hidupnya. Lalu ada teman ku yang bertanya kalau ada orang yang ingin bunuh diri, apa itu termasuk takdirnya? Menurutku itu berbeda hal. Itu adalah pilihannya antara meneruskan takdir hidupnya atau memutus takdir hidupnya. Misalnya saja manusia itu dapat hidup 50 tahun lagi, namun ia memilih untuk bunuh diri. Itu sama saja memutus takdirnya. Dan ternyata Tuhan tak suka manusia yang keluar dari permainannya. Sehingga manusia yang memilih untuk memutus takdir di beri hukuman lebih berat dibanding manusia bejat dan keji selama hidupnya. Lucu bukan? Tapi tentu saja aku hanya diam dan tak ada niatan untuk menjawab pertanyaan temanku itu. Aku yang mulai bosan memutuskan untuk keluar kelas sekedar izin untuk ke toilet.
Saat tengah berjalan menuju kamar mandi, aku mendengar suara tangisan perempuan. Perlahan aku berjalan menuju suara tangisan itu. Aku melihat dari balik tembok dan kulihat seorang siswi tengah menangis sendirian diantara celah antar gedung sekolah yang gelap dan sempit. Pakaiannya begitu kotor dan berantakan. Aku memang tak dapat melihat wajahnya dengan jelas, namun perempuan itu terlihat sangat kacau. Sambil terisak, perempuan itu merogoh tas nya mencari sesuatu. Dan benda itu adalah sebilah pisau. Ia menggenggam pisau itu dengan kedua tangannya dan mengarahkan pisau itu ke perutnya.
"Apa yang akan kau lakukan?"
Mendengar pertanyaanku, perempuan itu tersentak dan berbalik. Kini ia balik mengacungkan pisau yang ia genggam ke arahku.
"Si-siapa lo? Jangan campuri urusan gue! Pergi!"
"Apa yang akan kau lakukan?"
"Bukan urusan lo! Pergi! Kalo lo gak pergi, gue akan ngebunuh lo!" Ancam perempuan itu.
Aku berjalan mendekati perempuan itu. Perempuan itu tampak sangat ketakutan. Ia menjaga jarak dengan ku, namun tempat ini begitu sempit. Perempuan itu tak bisa pergi menjauhi ku. Aku pun menggenggam mata pisau itu. Ku genggam dengan kuat hingga tangan ku meneteskan darah. Aku menarik pisau itu dari tangan perempuan itu dan perempuan itu pun melepaskannya karena ketakutan. Tiba-tiba perempuan itu terjatuh berlutut didepanku. Ia kembali menangis.
"Gue mohon.. Bunuh gue! Bunuh gue sekarang! Gue gak mau hidup lagi!"
"Apa alasannya?" Tanya ku datar.
"Gue.. Gue udah gak pantes hidup lagi. Gue udah kotor! Gue udah dinodai! Gue gak mau hidup lagi!"
"Siapa yang membuatmu seperti ini?'
Akhirnya Perempuan itu pun menceritakan semuanya sambil menangis didepan ku. Perempuan itu bernama Sisi. Ia adalah murid yang se angkatan denganku. Ia hendak bunuh diri karena telah kehilangan kehormatannya. Yang melakukannya adalah wali kelasnya sendiri. Cih. Betapa nista nya makhluk yang bernama manusia. Manusia itu bukanlah makhluk yang memiliki jiwa. Ia hanya tulang berbalut daging yang di gerakkan oleh ego dan hawa nafsu. Benar-benar menjijikan.
"Kau minta agar aku membunuhmu?" Tanya ku yang membuat tangisnya berhenti.
"Ya.. Kalo lo gak mau, gue akan bunuh diri sendiri"
"Apa kau tak akan menyesal?"
"Gak! Gue malah nyesel karena gue lahir dan hidup cuma untuk hal ini. Mending gue mati sekalian!"
"Aku akan membantu mu. Aku tak akan membiarkan mu untuk bunuh diri. Jika kau bunuh diri, sama saja kau memutus takdirmu sendiri dan perbuatanmu akan sia-sia karena kau akan masuk neraka"
"Terus gue harus gimana? Gue udah gak mau hidup lagi! Gue gak mau hidup dengan keadaan kayak gini!"
"Aku akan membantu mu" ucapku sambil tersenyum.
Aku mengambil sapu tangan dari saku ku dan membungkus gagang pisau itu. Dengan cepat aku menusukkan pisau ke perut Sisi. Sisi pun langsung jatuh terkapar. Sapu tangan ku yang bersimbah darah kulipat lagi dan ku simpan. Tanganku yang terkena cucuran darah ku jilati di setiap sisinya.
Aku berjalan menuju ruang guru. Di ruang guru tampak hanya beberapa orang guru yang sangat sibuk. Ku rasa mereka bahkan tak menyadari keberadaanku. Aku menuju ke bagian belakang dari ruangan itu dan menemukan meja Pak Deni. Ku letakkan sapu tangan ku diatas meja itu dan bergegas pergi.
Saat sore harinya, aku meletakkan sebuah kotak dan surat di kursi mobil Pak Deni. Setelah itu aku bersembunyi ditempat kursi mobil belakang Pak Deni. Saat Ia hendak menstarter mobilnya, ku lihat Pak Deni menyadari kotak besar dan surat ku.
"Kado? Gede banget.. Dari siapa nih? Ada suratnya"
Surat itu kutulis menggunakan darah Sisi yang bertuliskan "Karena mu, aku mati. Maka sekarang kau yang harus mati!"
"Apaan sih? Paling kerjaan orang iseng!"
Sambil menyetir, ia membuka kotak itu. Dalam kotak itu adalah penggalan kepala Sisi yang tak bermata. Separuh wajahnya adalah tengkorak. Penggalan kepala itu berlumur darah. Pak Deni menjerit kaget dan melempar kotak itu. Hal itu membuat mobil Pak Deni tak terkendali sehingga ia menabrak sebuah pohon besar. Kepalanya berbenturan keras dengan setir mobil. Ia tak sadarkan diri. Aku keluar dari persembunyianku sambil menggotong sekantung plastik hitam besar. Aku duduk di kursi belakang dan ku letakkan plastik besar itu disampingku.
Tak berapa lama Pak Deni sadar. Ia merasa tangan kirinya memegang tangan seseorang. Saat ia melihat ke sebelahnya, ternyata potongan tubuh mayat menggunakan seragam sisiwi SMU tanpa kepala, kaki dan tangan kiri yang terduduk di kursi sebelahnya. Ia menjerit histeris. Berusaha membuka pintu mobilnya yang jelas sejak tadi ku kunci semua. Saat ia hendak menengok ke belakang, tepat di depan mukanya tergantung penggalan kepala yang di dalam kotak tersebut. Ia menjerit seperti orang gila.
"Tolong! Tolong keluarkan aku dari sini! Toloongg!"
"Kau tak akan bisa keluar" ucap ku
Ia terkejut ada suara orang. Perlahan ia menengok ke belakangnya dan ia mendapati sosok ku yang sedang duduk anggun sambil menggenggam sebuah bola mata dan melahapnya. Ia kembali menjerit ketakutan.
"Toloong! Tolong keluarkan aku dari sini! Toloong!!" Teriaknya sambil memukul-mukul kaca jendela.
"Kau tahu kepala siapa itu? Kau tahu tubuh siapa yang ada di sampingmu? Kau tahu? Itu adalah mayat dari murid yang kau lecehkan. Ia mati karena mu. Sekarang giliran kau!"
Aku lansgung merentangkan tali tambang dan mengalungi tali tambang itu ke leher pak Deni. Ku jerat dan ku ikat pada kursi mobilnya. Tangannya yang hendak menahan jeratan tali itu langsung ku tarik ke belakang dan ku ikat dengan kencang. Tak lupa ku bekap mulutnya yang sangat mengganggu itu. Jeritannya tak semerdu korban-korbanku sebelumnya. Malah membuat telinga ku sakit. Mungkin karena kami berada di tempat yang sempit seperti mobil ini.  Aku yang kesal akibat jeritannya yang membuat telingaku sakit, kini benar-benar bernafsu untuk menyiksanya. Aku bangkit. Melempar tubuh mayat Sisi ke pangkuan Pak Deni. Pak Deni membelalakkan matanya. Tubuhnya sengaja diguncang-guncang agar ikatannya lepas. Tapi aku tak bodoh. Tak mungkin ikatan itu dapat lepas dengan mudah. Aku duduk di kursi sebelah Pak Deni. Mengeluarkan sebilah pisau dan sebuah kapak besar. Cocok untuk memenggal apa pun.
"Kau tahu bahwa kau orang jahat?"
Aku merobek lengan baju kiri Pak deni hingga menampilkan lengannya.
"Kau tahu bahwa orang jahat harus dihukum?"
Aku langsung menancapkan pisau ku ke lengan Pak Deni. Ku tancapkan hingga pisau itu menembus daging lengannya. Ia berteriak kesakitan. Namun teriakannya hanya suara geraman kecil akibat mulutnya yang dibungkam. Ku rasa suara seperti ini juga lumayan merdu. Wajah Pak Deni sangat ketakutan dan menahan sakit. Seolah-olah ia baru saja melihat malaikat penjemput nyawa dengan sabit besar menghampirinya.
"Dan inilah hukuman untukmu. Nikmatilah"
Ku koyak daging lengan Pak Deni. Ia berteriak-teriak dibarengi dengan darah segar mengucur deras dari lengannya. Dagingnya yang bergelayutan pun ku kikis dan ku iris-iris. Seperti aku mengiris daging sapi. Tak perduli Pak Deni terus-menerus menjerit hingga menangis. Ia bergerak kesana kemari. Mencari jalan untuk lepas dari siksaan ini. Lengan itu hanya tersisa tulang. Lengan dagingnya sudah ku kuliti.
Aku pun beralih ke paha nya. Ku robek celana bagian paha. Sama seperti tadi. Aku langsung menancapkan pisau ku pada pahanya. Membuatnya menjerit lebih keras dan meronta-ronta. Nafasnya memburu. Kesakitan-kesakitan tergambar jelas di wajahnya. Ku cabut pisau ku. Tanpa basa-basi, aku langsung menguliti paha itu hingga menampakkan jelas daging dan darahnya. Aku meraih sesuatu dari tas ku dan kudapati sebotol garam. Garam itu langsung ku taburkan di atas daging itu. Pak Deni menjerit pedih. Ia sampai menangis dan meronta-ronta kasar. Aku tak puas hanya menguliti daging lengan dan pahanya saja. Aku mengambil pisau lain di tas ku yang ukurannya sedikit lebih kecil. Kini sasaran ku adalah telinganya. Ku iris telinganya sedikit demi sedikit sehingga menghasilkan sensasi kengiluan. Kepala Pak Deni tak bisa diam. Terus bergerak kesana kemari. Membuatku semaki kesal. Ku ikat kan kawat yang mengitari pipi dan hidungnya ke jok mobilnya. Ku ikat dengan sangat kencang hingga kawat kecil itu menembus sedikit kulit wajahnya. Menyebabkan darah-darah segar mengalir. Lalu kulanjutkan kembali mengiris sedikit demi sedikit kuping kirinya. Sengaja tak ku iris sampai benar-benar terpotong. Membiarkan daun telinga pak Deni menggantung dengan darah-darahnya. Ia pun semakin ketakutan. Rontaan dan jeritan dibalik bekaman mulut itu terganti dengan nafasnya yang tersengal-sengal. Tanpa basa-basi, aku langsung menarik dengan keras dan cepat daun telinga Pak Deni. Membuat Pak Deni berteriak sangat kencang. Ia lalu menangis.
"Kau menangis Pak? Aku jadi ingin sekali membuat air mata itu berwarna. Warna yang paling aku sukai. Warna merah" ucapku sambil langsung menancapkan pisau yang ku genggam ke bola mata Pak Deni.
Ia menjerit. Meronta kesana-kemari. Kemudian menangis lagi. Tapi yang mengalir di mata kirinya bukanlah air mata. Melainkan darah. Darah segar. Mengalir begitu deras.
"Jangan menangis Pak. Tangisan mu sudah tak berharga lagi. Jika kau ingin menangis, harusnya kau lakukan sebelum kau melakukan hal bejat itu." Ucapku sambil mengusap darah yang mengalir di pipi Pak Deni. Kujilat darah itu ditanganku.
"Kau tahu Pak? Aku masih terlalu baik padamu. Jika kau bukan guru ku, aku pasti akan melakukan hal lebih kejam lagi. Membuatmu hingga meminta agar aku cepat-cepat membunuhmu."
"Baiklah aku tak mau berlama-lama lagi. Tolong ucapkan salamku pada Sisi, Pak Deni"
Aku langsung bangkit sambil menggenggam sebilah kapak. Aku menurunkan kursi jok Pak Deni kebelakang hingga Pak Deni setengah terbaring diatas kursinya. Aku mengambil langkah kaki kiri ku melangkahi Pak Deni, hingga posisi ku berdiri diatasnya. Jika tidak begini, akan sulit mengayunkan sebuah kapak ini.
"Selamat tinggal, Pak. Semoga hidupmu tidak akan pernah tenang disana. Selamanya.."
Ku ayunkan kapak itu ke arah Pak Deni. Ia menjerit. Sebelah bola matanya melotot seperti ingin mencuat keluar. Dengan cepat kapak itu langsung tertancap ke tengkorak Pak Deni. Melintang membelah kepalanya. Dan seketika itu pula ia mati.

end/to be continue?

Minggu, 06 Mei 2012

IMPIAN EVAN

(naskah drama untuk paskah)


PROLOG : Ini adalah sebuah kisah dari seorang anak manusia yang selalu percaya pada kuasa Tuhan. Ia memiliki sebuah impian. Impian yang begitu polos. Impian yang mustahil terwujud. Impian yang dengan mudahnya orang lain tertawakan dan sepelekan. Tapi itulah impiannya. Ia adalah satu dari sekian anak yang akan membuat hal tak mungkin menjadi mungkin.
Di bawah sebuah fly over, anak-anak pengamen, pengemis, dan anak dari kalangan tak mampu berkumpul disana. Mereka sedang belajar dengan seorang guru sukarelawan.
Pak Guru              : “Anak-anak, Bapak ingin bercerita sedikit. Kalian tahu mengapa Bapak menjadi guru?”
Anak-anak          : (duduk berjejer setengah lingkaran)
“Tidak, Pak”
Ira                           : “Memangnya kenapa, Pak?”
Pak Guru              : “Sejak dulu Bapak memiliki sebuah impian. Impian kecil yang perjuangannya cukup besar”
Galih                     : (melepas emutan permen)
“Wah, iya Pak? Apa impian Bapak?”
Pak Guru              : “Bapak tidak mau melihat anak yang tak bisa membaca atau menulis”
Roni                       : (heran)
“Ha? Cuma itu, Pak?”
Pak Guru              : (tersenyum)
“Iya, hanya itu. Impian yang begitu kecil bukan? Tapi perjuangannya memang tak mudah. Dan sekarang pun Bapak didepan kalian sedang berjuang. Dan sekarang giliran Bapak yang ingin tahu, apa impian kalian? Mulai dari kamu, Dimas”
Dimas                   : (terkejut dan mengarahkan telunjuk ke arah diri sendiri)
“Saya, Pak?”
(bangkit)
“Saya pengen jadi Pilot Pak! Supaya bisa jalan-jalan keliling dunia”
(membentangkan tangan dan berlari-lari berkeliling)
Roni                       : “Kalo saya maunya jadi orang kaya Pak! Biar gak disuruh ngemis-ngemis lagi”
                                (membuka telapak tangan)
“dan bisa beli sepatu yang bagus! Gak pake sendal jepit terus”
(menunjuk-nunjuk kakinya)
Pak Guru              : (menghentikan Dimas dengan menarik tangannya)
“Impian kamu hebat Dimas”
Dimas                   : (kembali duduk sambil tertawa-tawa)
Pak Guru              : Roni, tidak selamanya memliki segalanya akan menjamin kebahagianmu. Uang bukan lah segalanya di dunia ini”
Roni                       : (menggaruk-garuk kepala)
“Iya sih Pak. Tapi saya tetep maunya jadi orang kaya! Asal ada duit, saya seneng kok”
(menggesek-gesek antara jari telunjuk dan ibu jari tangan kanannya)
Ira                           : (memukul tangan Roni)
“Dasar pengemis matre! Kalau saya mau jadi Guru. Saya ingin seperti Bapak, mengajar anak-anak yang nasibnya sama seperti saya”
Roni                       : “Dasar gak kreatif! Ngikut-ngikut Pak Guru doang”
Ira                           : “Enak aja! Gue serius tauk!”
Pak Guru              : “Sudah, sudah jangan bertengkar. Ira, impian kamu bagus. Bapak bangga dengan kamu. Tapi kamu harus rajin belajar agar kamu bisa memiliki banyak ilmu yang dapat kamu bagikan ke orang lain. Lalu Galih, apa impian kamu?”
Galih                     : (sambil mengemut permen)
“Saya mau jadi tukang bakso Pak. Supaya bisa makan bakso tiap hari”
Anak-anak          : (tertawa)
Pak Guru              : “Galih, kamu ada-ada saja. Lalu Evan, apa impian mu? Bapak lihat sejak tadi kamu diam saja”
Evan                      : (bingung)
“Impian ya Pak? Apa ya Pak? Dokter mungkin? ”
Roni                       : “Serius apa lu bakal jadi Dokter? Yang ada pasiennya gak sembuh-sembuh kalo dokternya model lo”
Evan                      : “Enak aja lo!”
Pak Guru              : “Impian kamu bagus Evan. Tapi sepertinya kamu belum yakin. Kamu bisa memberikan alasannya pada Bapak?”
Evan                      : (geleng-geleng)
Pak Guru              : “Kamu harus serius mengejar impianmu. Kalau kamu sudah tau apa alasannya, beritahu Bapak ya?”
                                (menepuk pundak Evan)
Setelah sekolah, Evan pun pulang ke rumah.  Ia langsung menemui ibunya. Seperti biasanya, ia akan menceritakan semua yang ia alami dii sekolah terbuka pada ibunya.
Evan                      : “Ibu lagi bikin kue ya?”
                                (memangku tangan)
Ibu                         : (sibuk membuat kue)
“Iya, mau ibu jual ke pasar nanti sore. Nanti kamu bantu Ibu jualan keliling ya?”
Evan                      : (mengangguk)
“Bu, masa tadi Pak Guru nanya impian Evan”
Ibu                         : “Terus kamu jawab apa?”
Evan                      : “Evan bilang mau jadi dokter”
Ibu                         : (mengayunkan tangan)
“Ngaco kamu! Mana mungkin..”
Bu Tanti               : (datang panik dan tergesah-gesah)
“Bu, Bu, gawat Bu!”
Ibu                         : (bingung)
“Ada apa Bu Tanti?”
Evan                      : (bangkit dan bingung)
Bu Tanti               : “Suami Ibu, Pak Trisna kecelakaan! Katanya jatuh dari kontruksi bangunan pas kerja!”
Ibu                         : “APA?!”
                                (terjatuh)
                                “Ayah..”
                                (menangis histeris)
Evan                      : (memeluk Ibu)
Dua minggu setelah kematian Ayahnya, Evan sangat sedih. Namun, ibunya jauh lebih sedih. Tak mau makan, dan hanya duduk di kursi sambil menatap kosong ke depan. Evan semakin sedih melihat ibunya jatuh sakit.
Evan                      : “Bu, makanlah sedikit supaya Ibu tak sakit”
                                (menyodorkan mangkuk)
Ibu                         : (tak bergeming)
Evan                      : “Bu, Ibu tak boleh seperti ini. Ibu harus sehat”
                                (mengguncang pelan lengan ibu)
“Sebentar lagi Natal. Ibu harus sembuh. Kalau ibu sehat, kita bisa buat kue sama-sama seperi tahun lalu”
                                (sambil menangis dan menyuapi Ibu)
                                “Bu, Evan ga mau Natal sendirian. Ibu harus sehat dan nemenin Evan”
Semakin lama, kondisi Ibu semakin memburuk. Evan yang tak memilikii uang akhirnya berjualan kue keliling. Namun saat sedang berjualan, Evan bertemu dengan Pak Guru.
Evan                      : (duduk sambil menghitung uang)
Pak Guru              : (menghampiri Evan)
                                “Evan? Sedang apa kamu disini?”
Evan                      : (kaget)
                                “Pak Guru?”
                                (bingung)
“Saya… sedang jualan kue Pak”
Pak Guru              : “Kamu kemana saja selama ini? Sudah tiga minggu kamu tidak ikut sekolah. Ada apa memangnya?”
Evan                      : (menunduk)
“Sejak Ayah saya meninggal, Ibu saja jadi sakit-sakitan. Saya ga punya uang Pak. Makanya saya jualan untuk beli obat buat Ibu”
Pak Guru              : (berjongkok)
“Kenapa kamu tidak mengabari Bapak?”
Evan                      : “Maaf Pak. Saya memang sedih saat Ayah saya meninggal, tapi Ibu yang paling sedih sampai dia sakit. Dan melihat Ibu yang sakit-sakitan, saya yang paling sedih”
Pak Guru              : (menepuk-nepuk bahu Evan)
“Tabahlah Evan. Sekarang Tuhan sedang mengujimu”
Evan                      : “Iya, Pak”
Pak Guru              : (bangkit)
“Evan, kamu ingat? Waktu itu kamu pernah bilang bahwa kamu ingin menjadi dokter”
Evan                      : (bingung)
                                “Iya, Pak. Tapi itu mustahil Pak”
Pak Guru              : (berjalan-jalan sedikit)
“Mengapa mustahil? Kamu tahu pekerjaan seorang dokter? Mengobati orang sakit, bukan?”
(berhenti berjalan dan kembali berjongkok)
“Evan, percaya lah, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Kalau kamu tidak percaya, kamu bisa membuktikannya, dengan cara mewujudkan impian mu”
Evan                      : (diam)
                                “Pak”
Pak Guru              : “Ya?”
Evan                      : “Mungkin sekarang saya bisa memberikan alasan kenapa saya ingin menjadi dokter”
Pak Guru              : “Benarkah? Apa itu?”
Evan                      : “Saya ingin menyembuhkan Ibu saya”
                                (bangkit)
                                “Pak, saya harus pulang kerumah. Terimakasih Pak”
                                (mencium tangan Pak Guru dan langsung pergi)
Evan pun berlari menuju rumahnya. Ia ingin secepatnya menemui Ibu nya dan mengatakan sesuatu pada Ibu nya.
Evan                      : “Bu, Evan pulang!”
                                (meletakkan nampan dan berlari menghampiri Ibu)
Ibu                         : (menengok dan tersenyum)
Evan                      : (berlutut disamping kursi Ibu)
“Bu, dulu Evan pernah bilang kan kalau Evan pengen jadi dokter? Ibu bilang gak mungkin. Tapi Evan yakin Evan bisa!”
                                (menggenggam tangan Ibu)
“Bu, Evan pasti akan jadi dokter. Evan bakal nyembuhin Ibu. Pokoknya Evan yang bakal ngerawat Ibu sampe Ibu sembuh. Ibu pasti sembuh! Ibu pasti sehat lagi”
                                (menunduk)
                                “Bu, Evan sayang Ibu. Percaya sama Evan. Evan pasti akan jadi dokter!”
Ibu                         : (tersenyum dan mengusap kepala Evan)
Evan mulai masuk ke sekolah umum berkat bantuan Pak Guru. Di pagi hari, Evan belajar di sekolah. Pulangnya, Evan berjualan kue untuk tambahan membeli obat Ibunya. Pak Guru selalu membantu Evan, mulai dari menyekolahkan Evan, membiayai hidup Evan dan juga Ibunya, serta membawa Ibunya ke rumah sakit. Evan adalah anak yang rajin dan pantang menyerah. Ia terus berusaha tanpa kenal lelah demi mencapai impiannya. Sepuluh tahun berlalu setelah janji Evan pada Ibunya.
MONOLOG :
Evan                      : “Hai, Bu. Apa kabar? Aku datang lebih cepat karena tak sabar ingin bertemu denganmu”
                                (tersenyum)
“Bu, lihat lah aku.  Pakaian ku rapih dan bersih. Tidak kumal, tidak robek, dan tidak bau.”
(mengusap bahu dan mengendus lengan baju)
“Bu, lihat lah aku. Rambut ku rapih. Tidak seperti dulu, kasar dan berantakan. Sekarang juga aku pakai sepatu. Tidak seperti dulu, hanya memakai sendal jepit”
(mengangkat sedikit sepatunya)
“Bu lihat lah aku. Aku memakai jas putih. Ibu tahu orang-orang seperti apa yang memakai jas putih? Ya, Dokter Bu”
                                (diam)
“Bu, sudah sepuluh tahun setelah janjiku untuk menjadi dokter. Aku tak pernah lupa janji itu. Karena Ibu adalah alasan mengapa aku bisa sampai disini sekarang. Aku ingat, dulu aku bercerita pada Ibu bahwa Pak Guru menanyakan apa impianku. Waktu itu aku hanya menjawab sekenanya. Ibu pun juga berkata tak mungkin. Tapi lihatlah siapa yang sekarang berdiri ini? Ini anak mu, Bu. Anak mu yang memakai jas putih ini”
(menepuk-nepuk ke arah dada)
“Bu, mungkin saat aku dewasa seperti sekarang, kata-kata ku pada mu memang terdengar lucu. Impian seorang anak miskin yang Ayahnya kuli bangunan dan meninggal saat kerja, lalu Ibu nya hanya seorang penjual kue keliling. Anak itu dengan polosnya berkata “Bu, Evan pasti akan jadi dokter. Evan bakal nyembuhin Ibu. Pokoknya Evan yang bakal ngerawat Ibu sampe Ibu sembuh”. Terdengar seperti “Aku ingin jadi dokter supaya bisa nyembuhin Ibu ku yang sakit”. Lucu bukan? Ibu juga pasti akan tertawa jika mengingat kata-kata ku yang polos itu. Tapi, Bu, kata-kata itu sudah menjadi alasan ku disini sekarang.
                                (berjongkok)
“Bu, lihat lah. Aku bawa bunga mawar untuk mu. Dulu Ibu bilang ingin memajang bunga mawar di meja. Namun karena aku tak punya uang, aku hanya mampu membuat bunga dari kertas yang kubuat bersama Ira, Dimas,Roni dan Galih saat ulang tahun mu.
                                (menangis)
“Bu, maafkan aku. Aku tak berhasil mencapai impianku. Aku tak bisa menjadi dokter yang merawat Ibu sampai Ibu sembuh. Maafkan aku, Bu. Aku tak bisa lebih cepat menjadi dokter dan menolongmu. Maafkan aku. Aku terlambat. Maaf, Bu”
                                (berhenti menangis)
“Bu, sekarang aku punya sebuah impian baru. Aku ingin menolong orang-orang yang bernasib sama dengan Ibu. Aku pasti akan membantu mereka. Lihat lah aku, Bu. Aku akan membayar janji ku yang tak tercapai padamu”
                                (meletakkan bunga mawar)
                                “Selamat tinggal, Bu. Evan sayang Ibu”


-end-