Minggu, 27 November 2011

DELIMA MERAH


Dahulu kala, disebuah istana hidup seorang Raja dengan dua anak gadisnya yang bernama si Sulung dan si Bungsu. Si Sulung dan si Bungsu sangat dekat. Mereka kakak-adik yang sangat harmonis. Suatu ketika, si Sulung diam-diam menemui kekasihnya di hutan.
Si Sulung                : (mengendap-endap dan waspada)
Panji                        : (datang dan menepuk pundak si Sulung)
"Kenapa engkau mengendap-endap?"
Si Sulung                : (terkejut)
"Oh kau. Aku kira siapa.. Aku takut jika ada bawahan ayahku sedang
berjaga di hutan ini"
Panji                        : "Sulung, sampai kapan kita akan mengumpat seperti ini? Tidakkah kau
berkeinginan untuk semua orang tahu tentang cinta kita?"
Si Sulung                : "Maaf Panji. Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya takut jika ayahku
tahu"
Panji                        : "Lantas kenapa jika sang raja tahu? Bukankah itu hal yang sangat bagus?"
Si Sulung                : "Tidak, Panji. Tidak! Ayah sangat menjunjung kasta. Aku takut jika
ayahku tahu, maka ia tidak akan merestui hubungan kita!"
Panji                        : (terdiam)
Si Sulung                : "Maaf, Panji. Bersabarlah sedikit.. Demi cinta kita"
Panji                        : "Baiklah.. Demi kau, aku akan bersabar. Namun, ketahuilah bahwa suatu
saat nanti cepat ataupun lambat, raja pasti akan tahu"
Sementara si Sulung menemui kekasihnya, ternyata adiknya si Bungsu dari kejauhan mengumpat di balik pohon ingin mengetahui apa yang dilakukan kakaknya dihutan seperti ini bersama seorang lelaki.
Si Bungsu               : (mengumpat dibalik pohon)
"Sedang apa kakak ditengah hutan seperti ini bersama seorang pria? Apa
yang mereka perbincangkan ya? Tidak terdengar dari sini. Apa sebaiknya
aku mendekat?"
Saat si Bungsu mengumpat dibalik pohon, dibelakangnya terdapat Raksasa Merah yang sedang memperhatikan si Bungsu.
Raksasa Merah       : "Itu pasti anak dari raja itu! Lihat saja, aku akan membalaskan dendamku!
                                Hahahaha"
Sang Raksasa Merah pun hendak menculik si Bungsu.
Raksasa Merah       : (menarik tangan si Bungsu)
Si Bungsu               : (berteriak)
"Aaaa tolong! Tolong!"
Mendengar teriakan minta tolong, si Sulung dan Panji datang.
Si Sulung                : "Adik! Adiikk!!"
Panji                        : "Wahai raksasa jahat! Lepaskan gadis itu!"
Raksasa Merah       : "Hahahaha.. Tidak akan ku lepaskan. Katakan kepada sang raja aku akan
membalaskan dendamku padanya! Hahaha"
Si Bungsu pun dibawa pergi oleh Raksasa Merah. Si Sulung yang melihat adiknya diculik oleh Raksasa Merah, langsung menangis.
Si Sulung                : (menangis)
"Kenapa harus adikku? Kenapa tidak aku saja!"
Akhirnya si Sulung pun pulang ke istana dan menceritakan semuanya pada ayahnya.
Raja                        : "APA?! Bagaimana hal itu bisa terjadi?"
(berdiri)
Si Sulung                : (berlutut)
"Maafkan aku ayah.. Aku tidak bisa menjaga adik dengan baik. Maafkan
aku!"
Raja                                    : "Raksasa itu! Aku akan membunuhnya!"
(mengepal tangan)
Si Sulung                : (menarik-narik kaki ayah)
"Jangan ayah, jangan! Usia ayah sudah tak muda lagi. Rakyat pun masih
membutuhkan ayah. Kumohon jangan ayah"
Raja                                    : "Tapi bagaimana dengan adikmu? Aku adalah ayah kalian. Bagaimana
seorang ayah bisa tenang jika anaknya sedang berada dalam bahaya?!"
Panji                        : (datang)
"Aku yang akan menyelamatkan anakmu"
Raja                                    : "Siapa kau?"
Si Sulung                : (tergagap)
"Ap-apa yang kau lakukan?!"
Panji                        : "Aku Panji dari Waisya. Maaf kan aku Raja. Ini semua karenaku. Andai
saat dihutan itu aku lebih cepat mengalahkan raksasa itu. Pasti anakmu akan
terselamatkan"
Raja                                    : "Bagaimana kau seorang pedagang bisa mengalahkan Raksasa Merah itu?"
Panji                        : "Aku pasti bisa mengalahkan raksasa jahat itu. Maka izinkanlah aku Raja"
(berlutut)
Akhirnya sang Raja pun mengizinkan Panji untuk menyelamatkan anaknya dari Raksasa Merah. Sementara itu di Goa, Si Bungsu di kurung oleh Raksasa Merah.
Si Bungsu               : (menangis)
"Wahai engkau Raksasa. Mengapa engkau menculikku? Ada dendam apa
engkau terhadap ayahku?"
Raksasa Merah       : "Ayahmu telah membunuh anakku! Maka dari itu aku akan membalaskan
dendamku padanya"
Si Bungsu               : "Wahai raksasa, janganlah engkau saling berdendam. Karena kedengkian
dan dendam tidak akan ada habisnya. Hal itu juga akan menyesatkan
engkau"
Raksasa Merah       : (bangkit)
"Aku tidak perduli! Semua karena ulah Raja! Ayahmu!"
Si Bungsu               : "Wahai Raksasa, dendam itu bukanlah hal yang baik. Bertaubatlah engkau
dan lupakan semua kebencian dalam hatimu"
Raksasa Merah       : "Diam kau!"
(mengayunkan tangan)
Panji                        : (datang)
"Hentikan! Hei kau raksasa jahat, lawanmu bukanlah gadis itu, tapi aku!"
Raksasa Merah       : "Dasar kau pengganggu!"
Akhirnya terjadi pertempuran sengit antara Panji dan Raksasa Merah. Raksasa Merah pun berhasil dikalahkan oleh Panji dengan mengambil satu bola mata sang Raksasa. Panji langsung menyelamatkan si Bungsu.
Panji                        : (menarik tangan si Bungsu)
"Cepat pergi dari sini. Sebelum raksasa itu mengejar kita!"
Melihat kegagahan Panji, si Bungsu jatuh cinta pada Panji. Saat sekembalinya ke istana, si Bungsu menceritakan semua hal kepada kakaknya.
Si Sulung                : (berpelukan)
"Syukurlah kau selamat, dik"
Si Bungsu               : "Iya kak. Kak, kau tahu? Sepertinya aku telah menemukan lelaki yang
kucari selama ini"
(melepas pelukan)
Si Sulung                : "Benarkah? Siapa lelaki itu?"
Si Bungsu               : "Ia adalah lelaki yang sangat gagah perkasa"
Si Sulung                : "Siapa dia?"
Si Bungsu               : "Siapa lagi jika bukan ksatria yang telah menyelamatkan ku dari raksasa
jahat"
Si Sulung                : (kaget)
"Maksudmu.. Panji?"
Si Bungsu               : "iya kak! Aku akan memberitahukan hal ini pada ayah"
(pergi)
Si Sulung                : (terjatuh dan menangis)
"Wahai dewa-dewa dari khayangan. Apa dosa ku pada engkau sekalian?
Mengapa engkau tak mentakdirkan cintaku dengan Panji? Mengapa engkau
rebut ia? Dan mengapa yang merebut harus adik ku? Wahai dewa, apa
engkau belum puas melihatku seperti ini"
Si Sulung yang mengetahui hal itu sangat terpukul. Ia sangat merasa sakit ketika mengetahui adiknya mencintai orang yang ia cintai sejak lama. Hari demi hari berlalu. Si Sulung hanya mengurung diri di kamar. Tak mau bertemu siapapun. Bertemu Panji, bertemu adiknya, bahkan bertemu ayahnya pun ia enggan. Ia hanya berkata pada semua orang bahwa ia sedang sakit dan tidak mau ada yang melihat kondisinya, kecuali dayangnya.
Si Bungsu               : (mengetuk kamar si Sulung)
"Kak, aku membawakan makan siang untukmu"
Si Sulung                : "Taruhlah saja di depan pintu"
Si Bungsu               : (meletakkan makanan)
"Kak, aku ingin memberi kabar padamu. Besok, ayah akan mengumumkan
pernikahanku dengan Panji. Ini memang terlalu mendadak. Aku juga baru
tahu hari ini. Panji pun sampai sekarang mungkin belum tahu. Aku harap
esok kakak sudah sembuh dan akan hadir"
Si Sulung                : (diam)
Si Bungsu               : (bangkit)
"Baiklah aku pergi dulu"
Si Sulung                : (menangis)
"Lebih baik tubuhku semakin sakit agar tidak dapat menyaksikan hal itu.
Dibanding hatiku yang sakit jika harus menyaksikan hal itu. Wahai Dewa,
apa memang ini kemauan engkau? Jikalah memang iya, maka aku akan
ikhlas. Adik ku memang lebih pantas bahagia. Aku memohon satu hal
padamu wahai Dewa. Redupkan lah cinta ini dan kuatkanlah hatiku"
(menunduk)
Hari pernikahan pun tiba. Saat semua orang hendak bersiap, si Sulung akhirnya mau keluar dari kamar. Saat orang-orang istana tengah sibuk bersiap-siap, si Sulung berjalan-jalan ke taman. Sedang asyik duduk di taman sambil menikmati bunga-bunga yang indah, Panji pun datang.
Panji                        : "Sulung.. Kemana saja kau selama ini? Aku mencarimu!"
(menggenggam tangan Sulung)
Si Sulung                : (menepis genggaman Panji)
"Kau tak seharusnya mencariku lagi. Sebentar lagi kau akan menjadi adik
iparku"
Panji                        : "Sulung, aku mencintaimu! Ku mohon, tolong percaya padaku. Kau masih
tetap mencintaiku kan? Kita bisa bilang pada semua orang di kerajaan ini
dan pernikahan itu pun pasti akan batal!"
Si Sulung                : (berdiri)
"Tidak bisa! Jangan lakukan itu! Lalu bagaimana dengan perasaan adikku?
Kau mau mencampaka ...."
Panji                        : (menarik kedua tangan Sulung)
"Lalu bagaimana dengan perasaanku! Perasaanmu! Kau mau
mengabaikannya?"
Si Sulung                : (melepas genggaman Panji)
"Maaf Panji. Cinta kita sudah berakhir. Sebentar lagi kau akan menikah dan
kau akan menjadi adik ipar ku. Jadi kumohon.. Buanglah cerita kita,
hapuslah cinta kita. Anggap itu tak pernah terjadi. Aku tidak mau melukai
perasaan adikku"
Si Bungsu               : (datang sambil menangis)
"Jadi... Benar semua ini? Kakak.. Apa benar kau.. Dengan Panji ... Mengapa
kau tidak bilang padaku! Mengapa tidak ada yang menceritakan semua ini
padaku! Kebohongan apa yang telah kalian buat!"
Si Sulung                : "Dik, dengarlah penjelasan kakak dulu..."
Si Bungsu               : "Apa lagi yang perlu didengar?! Aku tak butuh belas kasihanmu!"
(berlari pergi)
Saat si Bungsu berlari, muncullah sang Raksasa Merah. Ia hendak membunuh si Bungsu. Si Bungsu pun terluka akibat terjatuh karena dilempar oleh raksasa Merah.
Si Bungsu               : "Aaaaa toloooonngg! Toloooonngg!!"
Si Sulung dan Panji: (berlari menghampiri si Bungsu)
Si Sulung                : (menghampiri si Bungsu)
"Kau tak apa dik? Tanganmu terluka! Cepat kita menyingkir dari sini"
Raksasa Merah       : (geram)
"Hei kalian! Dasar manusia hina! Kembalikan bola mataku!"
Panji                        : "Hei kau raksasa! Tak puas-puas juga kau mencari mati. Kali ini aku tak
akan segan-segan membunuhmu!"
Akhirnya terjadilah pertempuran sengit antara sang raksasa Merah dan Panji. Raksasa yang hanya memiliki satu bola mata akhirnya dapat dikalahkan oleh Panji. Panji pun langsung berlari menghampiri si Bungsu.
Panji                        : (sambil membuang pedang)
"Kau tak apa? Tanganmu terluka!"
Si Bungsu               : "Aku baik-baik saja"
Raja                                    : (berlari menghampiri si Bungsu)
"Ada apa ini? Anakku, kenapa engkau? Kau baik-baik saja"
Si Sulung                : (berdiri dan perlahan berjalan menjauhi mereka)
Si Sulung mulai berjalan menjauhi Panji dan si Bungsu. Ia pun berhenti dan menengok ke arah mereka. Lalu tiba-tiba sang raksasa bangkit dan mengambil pedang Panji. Ia lalu berlari dan hendak menusuk Panji dari belakang.
Si Sulung                : (berteriak sambil berlari)
"Panjiii!!"
Raksasa Merah       : (menusuk perut si Sulung)
Si Sulung                : (terjatuh)
Panji                        : "Sulung!"
Raja                                    : "Anakku!"
(marah)
"Kau.. Dasar Raksasa jahanam! Dendammu adalah aku! Bukan anakku!
Sang Raja mengambil pedangnya dan menusukkan pedangnya ke Raksasa dengan penuh amarah. Raksasa yang sudah tak punya ternaga lagi akhirnya tidak berkutik dan kalah.
Raksasa Merah       : (terjatuh telentang)
Si Sulung                : (menarik pedang di perutnya)
"Kuharap dendammu selesai sampai disini"
(menusuk pedang ke mata raksasa)
Raksasa Merah       : (berteriak kesakitan)
Biji bola mata raksasa pun hancur berkeping-keping. Sulung pun langsung terjatuh. Lalu Panji dan si Bungsu langsung berlari menghampirinya.
Panji                        : (menghampiri si Sulung)
"Sulung, ku mohon bertahanlah! Ku mohon!"
Si Bungsu               : (menangis)
"Kak, bertahanlah.. Maafkan aku kak. Bertahanlah kak, ku mohon!"
Si Sulung                : (menggenggam tangan Panji dan si Bungsu)
"Panji.. tolong jaga adikku. Bahagiakan lah dia"
(meletakkan tangan Panji diatas tangan si Bungsu)
"Aku menyayangi kalian berdua.."
(tersenyum dan menutup mata)
Panji                        : (berteriak)
"Sulung! Suluuungg!"
Si Bungsu               : (menangis)
"Kakaaakk! Jangan pergi..."
Akhirnya si Sulung pun menutup mata. Darah dari si sulung menggenangi kepingan-kepingan bola mata sang raksasa. Dewa-dewa yang melihatnya pun merasa iba. Akhirnya tumbuhlah sebuah buah yang kemerahan dari darah si Sulung dan biji mata sang Raksasa Merah. Buah itu terasa asam-manis seperti kisah kehidupan si Sulung. Buah itu kini dikenal dengan "Delima Merah".

BEN sang Pahlawan Budaya


 Ben siswa SMA kelas 1 pindahan selalu memakai baju adat dan blankon saat kesekolah. Di tengah jaman modern yang anak-anak seusianya berlomba-lomba memakai barang-barang produk luar negeri yang mahal, Ben malah memakai Baju Adat Daerah dan Blankon. Ketika anak-anak seusianya berkendara mobil bebyband atau motor-motor yang terbilang gaul, Ben malah pergi kesekolah dengan mengendarai Sepeda Ontel tua peninggalan kakeknya. Karena hobi Ben yang suka memakai pakaian daerah, ia selalu dijauhi teman-temannya. Tidak heran dia selalu menjadi bahan kejahilan teman-temannya.
                Dirumah Ben bersiap-siap akan berangkat sekolah. Tidak lupa ia mendoublekan seragam sekolah dengan baju jawanya.
Ben        : “Mak, Ben berangkat. Assalamu’alaikum”
                 (Memakai Blankon)
                Dengan segera Ben langsung menaiki sepeda ontelnya dan bergegas menuju sekolah. Sesampai di sekolah ternyata upacara sudah dimulai. Ben langsung berlari kelapangan.
Ben        : “Alhamdulillah gak telat”
Guru 1  : “Hey, kamu! Mana topi kamu? Kenapa kamu malah pakai topi seperti itu?”
Ben        : “Ini namanya Blankon, Bu. Asli dari jawa.”
Guru 1  : “Terserah.. mana topi sekolah kamu?”
Ben        : “Astagfirullah… saya lupa bu! Gara-gara saya pake blankon jadi lupa”
Guru 1  : “Alasan! Kamu tidak boleh ikut upacara! Kamu berdiri mengangkat satu kaki sana didepan
ruang guru!”
                Ben berdiri satu kaki didepan ruang guru sampai upacara selesai. Murid-murid lain yang lewat hanya menertawakan Ben dan menjadikan Ben sebagai bahan lelucon. Bel berbunyi pertanda pelajaran disekolah telah dimulai. Ben masuk dan ditegur guru.
Guru 2  : “Dikelas tidak boleh memakai jaket dan topi. Cepat lepaskan jaket dan topi kamu Ben!
Ben        : “Ini bukan jaket bu, ini namanya Baju Lurik. Yang ini bukan topi bu, tapi Blankon!”
Guru 2  : “Terserah namanya apa. Pokoknya cepat kamu lepas!”
Ben langsung melepas Baju Lurik dan Blankonnya. Lalu ia langsung berjalan ke tempat duduknya. Ben duduk sendiri di pojok belakang. Karena hobinya yang aneh, Ben selalu dijauhi teman-temannya sampai tidak ada yang mau duduk dengannya.
                Istirahat tiba, Ben kembali memakai Baju Lurik dan Blankonnya. Saat ia berjalan menuju kantin, ada beberapa anak mengata-ngatai Ben.
Anak 1  : “Eh liat deh, ada dalang nyasar kesini. Hahaha”
Anak 2  : “Bukan dalang tau, tapi wayangnya. Hahaha”
Anak 1  : “ Hahahaha… dasar anak kampung! Kenapa sih lu bisa sekolah disini? Mana gaya lu norak lagi!”
Anak 2  : “Iya ih nggak banget! Gak tau apa yang namanya gaul ya? Mending balik ke desa lu sana! hahaha”
Ben        : “Lah ngapa lu berdua? Norak deh.. belom pernah liat baju daerah ya? Kasian..”
Anak 1  : “Idih kok lu nyolot sih? Anak kampong dasar!”
Ben        : “Kalian kali yang kampungan. Masa baju daerah aja nggak tau!”
Anak 2  : “Eh songong lu ye! Nyari ribut lu?!”
Anak 1  : “Eh udah yuk cabut aja.. jijik gue ribut sama anak kampong. Nggak penting juga”
Anak 2  : “Iya.. awas lu anak kampong!”
Ben        : “Peduli amat”
                (sambil pergi)
Karena tidak terima dihina oleh Ben, dua orang anak yang baru saja ribut dengan Ben merencanakan sesuatu untuk mengusili Ben.
Anak 2  : “Sumpah gue masih gak terima kita dihina sama anak kampong kayak gitu!”
Anak 1  : “Iya gue juga gak terima! Kesel gue juga”
Anak 2  : “Gimana kalo kita kerjain aja si anak kampong itu?”
Anak 1  : “Gimana caranya?”
                Kedua anak saling berbisik dan mulai melancarkan aksi mereka untuk menjaili Ben.
                Saat nya pulang sekolah. Ben pun dengan riang berjalan menuju parkiran sepedanya. Ia berjalan sambil bersenandung seperti menyinden. Sampai di parkiran, ia melihat ban sepedanya bocor.
Ben        : “Oalaahh.. sial banget gue! Mau tambel, tapi duit abis. Terpaksa jalan kaki dah nih..”
                Ben berjalan mendorong sepedanya yang bocor itu. Dijalan ia bertemu dua anak yang tadi siang ribut dengannya.
Anak 1  : “Eh liat deh.. ada anak kampong gotong sepeda tuh.”
Anak 2  : “Kenapa sepeda lo? Bocor ya? Perlu bantuan?”
Ben        : (heran)
                “Kenapa kalian baikin gue? Perasaan tadi kalian kesel sama gue!”
Anak 1  : “Ya apa salahnya membantu teman?”
Anak 2  : “Gue bantuin dorong ya?”
                Tanpa menunggu jawaban dari Ben, dua anak itu langsung mengambil sepeda Ben dan mendorongnya. Bukan didorong kejalan, sepeda Ben malah didorong ke got.
Ben        : “Eh lo berdua apa-apaan sih! Kenapa sepeda gue lo dorong ke got?!”
Anak 1  : “Ups.. sorry. Kita sengaja. Sorry ya”
Anak 2  : “Iya sorry banget.. sekarang sepeda lu rusak deh.. hahaha”
Anak 1  : “Hahaha rasain! Makanya jangan suka macem-macem sama kita!”
Ben        : “Kalian tuh bener-bener biadab ya!”
Anak 2  : “Bodo! Hahaha.. udah cabut yuk. Tinggalin si bocah kampong sama sepeda rongsoknya aja”
Anak 1  : “Yuk.. dadah kampong..”
                Ben benar-benar sedih. Sepeda peninggalan kakeknya kini menjadi kotor dan rusak parah. Ben mengangkat sepeda tua itu dan mendorongnya sampai rumah.
                Esoknya Ben berangkat seperti biasa, namun tanpa sepeda tua kesayangannya. Sesampai di sekolah, Ben bertemu dua orang anak yang kemarin telah membuat sepedanya rusak. Rasanya Ben ingin membalas dendam kepada mereka. Ben sudah mempersiapkan ketapel dan memungut batu saat dijalan tadi. Ben mengumpat dibalik tembok dan mulai menselepet dua anak tersebut dengan batu. Puas mengerjai, Ben langsung pergi.
Anak 1  : “Anjir siapa nih yang nyelepet kita pake batu?!”
Anak 2  : “Tau nih! Kurang kerjaan banget! Eh tapi kayaknya tadi gue liat deh orang ngumpet dibalik tembok situ.”
Anak 1  : “Lu tau siapa?”
Anak 2  : “Nggak gitu jelas. Cuman keliatan lengan bajunya lurik-lurik gitu kaya baju jawa”
Anak 1  : “Si Ben!”
Anak 2  : “Mungkin! Iya mungkin aja dia! Mungkin aja dia mau bales dendam gara-gara kita kerjain
kemaren!”
Anak 1  : “Sumpah ya nih anak ngajak ribut banget! Kita kerjain balik aja gimana? Biar dia tau rasa!”
Anak 2  : “Ayo ayo! Kerjain apa nih?”
Anak 1  : “Gue punya ide!”
                Dua anak itu kembali mengatur siasat untuk mengerjai Ben. Mereka merencanakan hal yang lebih kejam lagi untuk mengerjai Ben. Esokannya mereka mulai menjalankan aksi mereka. Mereka ke kelas Ben tepat saat Ben sedang sholat Dzuhur.
Anak 2  : “Eh serius nih? Apa nggak keterlaluan? Nanti kalo kita kena juga gimana?”
Anak 1  : “Udah elah lu! Camen banget sihh.. udah mending lu ikutin gua aja! Pokoknya lu jagain kelas, jangan sampe ada orang yang masuk!”
Anak 2  : “Yaudah deh..”
                (berjalan ke pintu kelas)
Anak 1  : (memasukkan benda ke tas Ben)
                “Makan tuh anak kampong!”
                Setelah mereka menjalankan aksi mereka, mereka langsung menemui guru.
Anak 1  : “Bu, saya mau lapor!”
Guru 3  : “Ada apa?”
Anak 1  : “Ada anak yang membawa senjata tajam bu! Mending ibu ngadain razia dadakan deh!”
Guru 3  : “Yang benar kamu?”
Anak 1  : “Iya bu! Masa saya boong sih.. coba deh ibu periksa anak-anak kelas X-2”
Guru 3  : “Baik nanti akan ibu suruh wali kelas X-2 untuk menggeledah murid-murid”
Anak 1  : “Kalo gitu saya permisi dulu”
                Dikelas Ben mendadak diadakan razia oleh wali kelas Ben. Karena Ben merasa tidak membawa benda yang aneh selain Blankon dan Baju Luriknya, Ben pun santai-santai saja. Saat guru menggeledah tas Ben. Guru mendapati sebuah golok tajam terselip diantara buku-buku Ben.
Guru 2  : “Ben! Apa-apaan kamu membawa senjata tajam seperti ini ke sekolah?!”
Ben        : “Itu bukan punya saya bu! Saya juga gak tau tiba-tiba bisa ada di tas saya!”
Guru 2  : “Jangan alasan kamu! Jelas-jelas senjata tajam ini ada di tas kamu!”
Ben        : “Itu benar-benar bukan punya saya bu! Mungkin aja ada murid lain usil masukin golok itu ketas saya!”
Guru 2  : “Bohong kamu! Jelas-jelas disekolah ini cuman kamu satu-satunya anak yang suka membawa benda-benda aneh berbau kedaerahan! Sudah cepat ikut ibu kekantor”
                Meskipun tidak mau mengaku bersalah, tetapi Ben tetap ikut ke kantor. Ia ingin memberikan penjelasan bahwa ia tidak membawa golok ke sekolah. Saat dikantor, Ben disidang oleh guru. Karena terbukti sebuah golok di tas Ben, Ben dikenai skors. Ben sempat membela diri, namun semua sia-sia saja. Sebagai hukuman tambahan, Ben disuruh berdiri di tengah lapangan.
                Saat Ben dihukum, banyak anak-anak menertawainya. Apalagi Ben memakai Blankon dan Baju Lurik. Terlihat begitu menyolok ditengah lapangan. Ben pun menjadi bahan cemoohan oleh murid-murid lainnya. Karena tak tahan dengan omongan anak-anak yang menjelek-jelekan baju lurik dan blankonnya, Ben pun akhirnya berbicara lantang ditengah mereka-mereka yang sedang menonton Ben.
Ben        : “Anak-anak macam apa kalian?! Kenapa kalian tidak bisa menghargai budaya kalian sendiri?
Budaya leluhur kalian sendiri? Apa ini yang namanya generasi sekarang? Generasi yang kerjanya
hanya bisa berfoya-foya menghabiskan uang hanya untuk membeli barang-barang mahal dari
luar? Kenapa kalian tidak belajar mencintai budaya kalian sendiri? Apa salahnya melestarikan
budaya kita sendiri? Kalian menganggap gue aneh, tapi kalian sendiri sampah yang cumin
ngebebani negara!!”
                Ben terus berbicara menggebu-gebu. Menyadarkan anak-anak yang dilapangan itu untuk mencintai budaya sendiri, bukan dengan mengikuti budaya lain. Berkat perjuangan dan usaha Ben, sekolah itu kini telah berubah menjadi sekolah yang lebih mencintai budaya Indonesia.