Senin, 19 Maret 2012

PSYCHO (part 1)


"Orang jahat tak pantas hidup, tapi kematian lebih tak pantas untuknya. Biarlah ia hidup di dunia, biarlah ia terus berbuat jahat, biarlah dosa-dosanya semakin menumpuk dan menumpuk. Hingga suatu saat nanti ia dipanggil-Nya dengan bergunung-gunung dosa. Maka neraka lah tempat yang paling pantas bagi orang-orang seperti itu"

Aku Rika, siswi SMA kelas 2. Dulu aku adalah seorang pembunuh. Seorang psikopat lebih tepatnya. Aku suka menyiksa orang jahat, apalagi orang-orang keji dan hina yang hidup di sekelilingku. Aku sering menculik mereka, membawa mereka ke sebuah rumah yang tak berpenghuni, mengikat tangan dan kaki mereka, lalu menguliti wajah mereka, mencongkel bola mata mereka, atau mengiris telinga dan jari-jari tangan mereka. Biarlah mereka menangis, menjerit kesakitan dan memohon. Ya aku memang sengaja tak membekap mereka karena jeritan-jeritan mereka adalah nada yang begitu indah dan merdu di telinga ku. Suara yang begitu membuatku kecanduan. Air mata mereka bagai cucuran air sungai yang begitu elok di mataku. Membuatku terus melakukannya agar aku dapat melihat air mata itu mengalir deras. Lagi dan lagi. Dan darah-darah merah segar yang mengalir bagaikan minuman yang memabukkan untuk ku, begitu nikmatnya di tenggorokan ku. Sampai aku bosan bermain-main dengan mereka, lalu ku robek dada mereka dan ku ambil jantung mereka yang masih bersatu dengan tubuh mereka. Ku genggam dan ku remas seperti aku meremas balon hingga balon itu meledak. Ya hingga jantung itu berhenti berdetak. Aku paling suka bagian ini karena darah-darah segar pasti akan bermuncratan kemana-mana. Mengenai wajah dan seluruh tubuhku. Aku suka bermandikan minuman yang paling ku suka.
Buat ku itu adalah sebuah penghukuman di dunia bagi mereka-mereka yang berbuat jahat di dunia. Mereka pantas mendapatkan hal itu. Dan aku berharap di nereka sana mereka mendapat siksaan yang lebih di banding yang aku lakukan. Tapi akhir-akhir ini aku mulai berpikir, yang kulakukan sepertinya telah membuat suatu keuntungan bagi mereka-mereka makhluk keji dan hina. Aku berfikir, mereka memang tak pantas hidup, tapi kematian lebih tak pantas untuk mereka. Lebih baik mereka terus hidup dan menghabiskan hidupnya dengan terus berbuat kejahatan, hingga sampai akhirnya dosanya menumpuk-numpuk dan mereka akan terjeblos ke neraka selamanya.
"Hai Rika, mau pulang ya?"
"Ya"
"Bareng yuk"
Sifa adalah orang yang selalu baik pada ku. Ia tak pernah mencium bau pembunuh dalam diriku ini. Ya, karena aku menutupinya dengan tidak bergaul dengan orang lain dan selalu menyendiri. Tapi Sifa selalu melihat ku sendirian dan ia satu-satunya anak yang berani mendekati ku. Ia juga tak pernah perduli dengan gosip-gosip tentang aku yang katanya adalah psikopat, meskipun itu benar adanya dan aku sendiri mengakui hal itu. Dia terlalu baik.
"Lo Sifa?"
"Iya, ada apa?"
"Ikut kita bentar ya"
Tiba-tiba Sifa di tarik paksa oleh segerombolan perempuan. Mereka mengajak Sifa ke halaman belakang gedung sekolah.
"Sepertinya menarik" ucapku dalam hati.
Aku pun mengikuti mereka diam-diam dan mencuri dengar percakapan mereka sambil memasang kamera handphone ku yang siap merekam.
"Hei anak centil! Kemaren sore lo ngobrol sama Rendi kan? Rendi tuh cowok gue!"
"Iya jangan kecentilan ya?! Dasar anak miskin belagu!"
"Ap-apa? Dia cuman tanya soal PR kok. Aku gak ngapa-ngapain!"
"Gausah banyak alasan deh! Dasar anak miskin belagu! Lo bisa sekolah disini itu juga karna nyokap lo tukang sapu disekolah ini kan?! Ibu sama anak sama aja ya, sama-sama gak tau diri!"
"Cukup! Kalian boleh hina aku, tapi jangan ngata-ngatain Ibu aku!"
"Cih, berani ngelawan! Hajar aja temen-temen"
Dan setelah itu perempuan-perempuan itu menjambak, memukul, menendang Sifa hingga darah segar keluar dari bagian-bagian tubuhnya. Sifa terjatuh tak berdaya dan menangis. Aku pun menghentikan rekaman ku.
"Udah cukup temen-temen. Kita cabut sebelum ada yang liat"
"Sekali lagi gue liat lo deket-deket sama Rendi, lo mati di tangan gue! Cuh!"
Sifa menangis, ia dipukul, ditendang, dihina bahkan di ludahi. Aku pelan-pelan menghampirinya, mengulurkan sapu tanganku untuknya.
"Ma-makasih Rika. Kamu liat yang barusan ya?"
"Ya"
"To-tolong jangan bilang ke siapa-siapa ya. Apa lagi di aduin sama guru"
"Kenapa?"
"Biar aja, aku gak apa kok. Aku cuma takut mereka makin marah dan sasarannya bukan aku lagi, tapi Ibu ku"
"Yasudah"
"Terimakasih ya"
"Bukan masalah"
"Emm, Rika. Hari ini aku boleh nginap dirumah kamu?"
"Untuk apa?"
"A-aku takut pulang dengan keadaan begini, aku takut bikin Ibu cemas... Te-tenang aja, aku gak akan ngerepotin kok. Kalau kamu ke ganggu, kamu bilang aja aku bisa tidur di teras depan rumah kamu kok"
"Ya, boleh"
"Te-terimakasih Rika"
Aku memang pembunuh, jiwa yang penuh dendam. Aku tak akan perduli dengan orang jahat yang di siksa atau mati di depan ku. Itu malah suatu kesenangan bagi diriku. Tapi, aku tak bisa bersikap tak perduli pada orang baik.
"Kamu tidur sekamar dengan ku aja, maaf kamarku berantakan"
"I-iya makasih ya.. Maaf aku ngerepotin"
"Gak masalah"
"Em, Rika. Foto-foto yang di dinding kamu ini, foto-foto murid sekolah kita yang meninggal dua bulan lalu kan ya?"
"Ya"
"Lalu ini kan guru kita yang meninggal empat bulan lalu"
"Ya"
"Kenapa kamu punya foto-foto mereka?"
"Entah" Jawab ku dengan tatapan sinis.
Aku tak suka Sifa yang mengorek-ngorek tentang diriku. Kalau ia mulai percaya pada gosip yang mengatakan aku adalah psikopat, toh aku tak perduli. Malam ini ia akan sekamar dengan seorang pembunuh. Sekalipun ia akan berbuat macam-macam padaku atau mencoba untuk mengumbar-umbar info yang sebenarnya, ku jamin malam ini ia tak akan sempat. Sebilah pisau sudah ku simpan di bawah bantal ku.
"Ma-maaf ya aku udah tanya-tanya. Itu kan privasi kamu"
"Ya"
"Rika..."
"Ya"
"Maaf ya aku sedikit bohong sama kamu. Sebenernya aku gak mau pulang kerumah bukan karena takut Ibu khawatir, tapi aku takut sama Bapak"
"Kenapa?"
"Bapak ku sering mabuk-mabukan dan berjudi, sering juga dia gak pulang. Sekalinya pulang cuma minta uang dan mukulin aku kalau ia mabuk atau gak di kasih uang sama Ibu. Ibu juga jadi sering mukulin aku karena kesel sama Bapak. Aku jadi pelampiasan mereka berdua. Makanya aku takut kalo pulang kerumah"
"...."
"Eh, maaf ya aku jadi cerita gini. Aku gak maksud apa-apa kok. Aku cuman kadang capek sama hidup yang begini"
"Kalau kamu mati, kamu bahagia?"
"Emm... Mungkin. Haha tapi aku masih gak tega ninggalin Ibu. Dia juga udah mulai tua, kalo dia sakit nanti gak ada yang jagain"
"...."
"Tidur yuk"
"Ya"
Sifa itu bukan orang jahat. Tapi hidupnya ironis. Apa orang baik dan sabar seperti dia memang lebih bahagia jika mati? Sudah jam 1.45 malam dan aku belum terlelap. Aku bangun dan menatap Sifa yang sedang tidur di bawah kasur ku.
"Aku ingin membantu mu" ucapku sambil mengambil pisau yang ada dibawah bantal ku.
"Kau orang baik. Orang baik seperti mu tak pantas hidup dengan keadaan seperti ini. Dunia bukanlah tempatmu. Biarlah kau hidup tenang di alam sana. Akan ku bantu agar kau tak menginjakkan kaki di neraka"
Aku pun bangkit dari kasur ku dan mulai mendekati Sifa.
"Semoga kau bahagia" Ucapku sambil menusukkan pisau yang ku genggam ke arah Sifa tepat di jantungnya.
Sifa, kau adalah orang baik. Orang baik seperti mu tak boleh hidup di dunia dengan keadaan seperti ini. Kau lebih baik mati dan hidup tenang di alam sana. Orang baik dan sabar seperti mu aku yakin tak akan terjeblos ke neraka. Aku tak perlu menyiksa mu karena aku memang ingin membantu mu. Yaitu dengan membunuhmu. Yang seharusnya tersiksa adalah orang-orang yang telah berbuat jahat pada mu dan mereka akan mendapatkannya sekarang.
"TOK TOK TOOOK"
"Ya masuk"
"Ada perlu apa Pak manggil kita kesini?"
"Nisa, Wanda dan Iren, Bapak memanggil kalian untuk memperlihatkan rekaman video serta surat yang ditujukkan pada kalian. Lihat ini"
"I.. Ini.."
"Siapa yang ngerekam Pak?! Siapa yang ngirim?"
"Kalian baca lah surat ini dulu"
"Untuk kalian semua yang telah jahat padanya, menyiksa hidupnya dan membuatnya tak sanggup hidup lagi. Kalian tak pantas hidup, tapi kematian lebih tak pantas untuk kalian. Teruslah hidup di dunia diatas bayang-bayang kematiannya dan rasa ketakutan kalian atas arwahnya."
"Video dan surat ini dikirim tadi pagi, entah siapa pengirimnya. Setelah kami selidiki, ternyata mayat Sifa ada di teras rumahnya. Surat yang sama juga ditemukan di saku baju Sifa. Dari hasil otopsi, banyak luka-luka di sekujur tubuh Sifa dan bekas tusukkan pisau di perutnya. Video tadi juga sudah di periksa oleh kepolisian dan dari pemeriksaan, Sifa di aniaya oleh kalian dan lalu dibunuh oleh kalian"
"Ta-tapi.. Itu gak mungkin Pak!"
"Kami tidak membunuh Sifa Pak!"
"Kami mengaku kami memang menganiaya Sifa tapi kami tak membunuh Sifa!"
"Iya Pak! Surat itu pasti bohong! Kami tidak membunuh Sifa"
"TOK TOOK TOOK"
"Permisi, Pak. Kami telah memeriksa tempat kejadian di video itu. Kami menemukan sebilah pisau dengan darah yang sedikit mengering di halaman belakang tersebut"
"Gak! Gak mungkin!"
"Kami bukan pembunuh!"
"Kami tidak membunuh Pak!"
"Maaf nak, tapi sekolah secara resmi mengeluarkan kalian bertiga"
"Tolong kalian bertiga ikut kami ke kantor Polisi. Bawa mereka ke mobil"
"Siap Pak"
"Enggak mau! Gue bukan pembunuh!"
"Enggak! Enggaaak! Saya gak ngebunuh Sifa!"
"Lepasin saya! Lepasin!"
Sekolah begitu gaduh dan ramai melihat pemandangan tiga anak perempuan di giring Polisi sambil di borgol. Mereka yang menonton menghujat tiga gadis itu. Ya, kabar tentang video dan surat yang dikirim ke kepala sekolah oleh orang tak dikenal sudah menyebar ke seluruh murid.
"Dasar pembunuh!"
"Perempuan gak punya hati! Pembunuh!"
"Kalian menjijikan! Bisa-bisanya ngebunuh cewe cuman karena cowo! Biar arwah Sifa gentayangin kalian!"
"Kalian seharusnya juga disiksa dan mati! Biar ngerasain apa yang dirasain Sifa!"
Mereka semua mengerumuni tiga gadis itu. Ada yang menatap jijik, menatap rendah, menatap penuh amarah, menangis, menggapai-gapai ingin mencekik tiga gadis itu, melempari tiga gadis itu dengan sampah-sampah busuk, bahkan mengutuki tiga gadis itu. Tiga gadis itu hanya menunduk, menangis, dan ketakutan. Aku hanya melihat dari kejauhan. Aku tersenyum. Inilah kebahagian yang paling aku sukai. Melihat orang-orang jahat menderita dan tersiksa.
"Baguslah. Mereka tak akan hidup dengan tenang" ucapku dalam hati.
Aku segera bergegas pergi meninggalkan sekolah. Tak perduli jam pelajaran masih berlangsung. Hanya ingin mencari kesenangan yang lain. Dan aku tiba di rumah Sifa. Rumahnya sepi seperti tak berpenghuni. Aku pun masuk kedalam untuk sekedar memastikan.
"Anak ku! Kau hidup nak? Kau masih hidup kan?!" Tiba-tiba seorang ibu-ibu dengan penampilan lusuh dan terlihat sinting menggenggam tanganku. Ya, itu adalah ibu-ibu yang suka membersihkan halaman depan sekolah ku. Ibunya Sifa. "Nak, maafin ibu nak maafin ibu!" ucapnya sambil memelukku. "Bapak mu sekarang sudah pulang, lihat lah nak. Ayo kemari ikut ibu" ia menarikku ke sebuah ruangan. "Ibu siapin kamu makan dulu ya" ucapnya sambil pergi.
Aku pun masuk ke ruangan yang ia maksud dan aku sedikit terkejut. Laki-laki yang disebut-sebut "Bapak" oleh ibu-ibu tersebut adalah mayat yang kepala, badan, tangan kanan serta kaki kirinya terpisah, bersender di sudut ruangan itu. Jari-jari kaki serta bola matanya sudah tak ada. Dari perutnya keluar usus-ususnya. Tengkorak kepalanya pecah, sebagian otaknya seperti di potong-potong, berceceran di dekat tangan kanannya yang terpisah dari tubuhnya. Lengan kirinya sudah tak berkulit dan berdaging, hanya tulang yang terbalut darah. Paha kanan dan betisnya sepertinya sudah dikuliti, hanya terlihat daging-daging dan darahnya. Sepertinya Ibu itu sendiri yang melakukannya dan dari sikapnya yang menganggap aku adalah anaknya, sepertinya ibu itu mengalami gangguan kejiwaan.
"Kau memang tak pantas hidup. Tapi kematian lebih tak pantas untukmu. Aku lebih senang kau hidup dengan menanggung beban dan tersiksa dibawah bayang-bayang kematian dibanding kau mati dengan tenang" Aku pun tersenyum puas. Lalu aku pergi meninggalkan rumah itu.
-to be continue-