Minggu, 06 Mei 2012

IMPIAN EVAN

(naskah drama untuk paskah)


PROLOG : Ini adalah sebuah kisah dari seorang anak manusia yang selalu percaya pada kuasa Tuhan. Ia memiliki sebuah impian. Impian yang begitu polos. Impian yang mustahil terwujud. Impian yang dengan mudahnya orang lain tertawakan dan sepelekan. Tapi itulah impiannya. Ia adalah satu dari sekian anak yang akan membuat hal tak mungkin menjadi mungkin.
Di bawah sebuah fly over, anak-anak pengamen, pengemis, dan anak dari kalangan tak mampu berkumpul disana. Mereka sedang belajar dengan seorang guru sukarelawan.
Pak Guru              : “Anak-anak, Bapak ingin bercerita sedikit. Kalian tahu mengapa Bapak menjadi guru?”
Anak-anak          : (duduk berjejer setengah lingkaran)
“Tidak, Pak”
Ira                           : “Memangnya kenapa, Pak?”
Pak Guru              : “Sejak dulu Bapak memiliki sebuah impian. Impian kecil yang perjuangannya cukup besar”
Galih                     : (melepas emutan permen)
“Wah, iya Pak? Apa impian Bapak?”
Pak Guru              : “Bapak tidak mau melihat anak yang tak bisa membaca atau menulis”
Roni                       : (heran)
“Ha? Cuma itu, Pak?”
Pak Guru              : (tersenyum)
“Iya, hanya itu. Impian yang begitu kecil bukan? Tapi perjuangannya memang tak mudah. Dan sekarang pun Bapak didepan kalian sedang berjuang. Dan sekarang giliran Bapak yang ingin tahu, apa impian kalian? Mulai dari kamu, Dimas”
Dimas                   : (terkejut dan mengarahkan telunjuk ke arah diri sendiri)
“Saya, Pak?”
(bangkit)
“Saya pengen jadi Pilot Pak! Supaya bisa jalan-jalan keliling dunia”
(membentangkan tangan dan berlari-lari berkeliling)
Roni                       : “Kalo saya maunya jadi orang kaya Pak! Biar gak disuruh ngemis-ngemis lagi”
                                (membuka telapak tangan)
“dan bisa beli sepatu yang bagus! Gak pake sendal jepit terus”
(menunjuk-nunjuk kakinya)
Pak Guru              : (menghentikan Dimas dengan menarik tangannya)
“Impian kamu hebat Dimas”
Dimas                   : (kembali duduk sambil tertawa-tawa)
Pak Guru              : Roni, tidak selamanya memliki segalanya akan menjamin kebahagianmu. Uang bukan lah segalanya di dunia ini”
Roni                       : (menggaruk-garuk kepala)
“Iya sih Pak. Tapi saya tetep maunya jadi orang kaya! Asal ada duit, saya seneng kok”
(menggesek-gesek antara jari telunjuk dan ibu jari tangan kanannya)
Ira                           : (memukul tangan Roni)
“Dasar pengemis matre! Kalau saya mau jadi Guru. Saya ingin seperti Bapak, mengajar anak-anak yang nasibnya sama seperti saya”
Roni                       : “Dasar gak kreatif! Ngikut-ngikut Pak Guru doang”
Ira                           : “Enak aja! Gue serius tauk!”
Pak Guru              : “Sudah, sudah jangan bertengkar. Ira, impian kamu bagus. Bapak bangga dengan kamu. Tapi kamu harus rajin belajar agar kamu bisa memiliki banyak ilmu yang dapat kamu bagikan ke orang lain. Lalu Galih, apa impian kamu?”
Galih                     : (sambil mengemut permen)
“Saya mau jadi tukang bakso Pak. Supaya bisa makan bakso tiap hari”
Anak-anak          : (tertawa)
Pak Guru              : “Galih, kamu ada-ada saja. Lalu Evan, apa impian mu? Bapak lihat sejak tadi kamu diam saja”
Evan                      : (bingung)
“Impian ya Pak? Apa ya Pak? Dokter mungkin? ”
Roni                       : “Serius apa lu bakal jadi Dokter? Yang ada pasiennya gak sembuh-sembuh kalo dokternya model lo”
Evan                      : “Enak aja lo!”
Pak Guru              : “Impian kamu bagus Evan. Tapi sepertinya kamu belum yakin. Kamu bisa memberikan alasannya pada Bapak?”
Evan                      : (geleng-geleng)
Pak Guru              : “Kamu harus serius mengejar impianmu. Kalau kamu sudah tau apa alasannya, beritahu Bapak ya?”
                                (menepuk pundak Evan)
Setelah sekolah, Evan pun pulang ke rumah.  Ia langsung menemui ibunya. Seperti biasanya, ia akan menceritakan semua yang ia alami dii sekolah terbuka pada ibunya.
Evan                      : “Ibu lagi bikin kue ya?”
                                (memangku tangan)
Ibu                         : (sibuk membuat kue)
“Iya, mau ibu jual ke pasar nanti sore. Nanti kamu bantu Ibu jualan keliling ya?”
Evan                      : (mengangguk)
“Bu, masa tadi Pak Guru nanya impian Evan”
Ibu                         : “Terus kamu jawab apa?”
Evan                      : “Evan bilang mau jadi dokter”
Ibu                         : (mengayunkan tangan)
“Ngaco kamu! Mana mungkin..”
Bu Tanti               : (datang panik dan tergesah-gesah)
“Bu, Bu, gawat Bu!”
Ibu                         : (bingung)
“Ada apa Bu Tanti?”
Evan                      : (bangkit dan bingung)
Bu Tanti               : “Suami Ibu, Pak Trisna kecelakaan! Katanya jatuh dari kontruksi bangunan pas kerja!”
Ibu                         : “APA?!”
                                (terjatuh)
                                “Ayah..”
                                (menangis histeris)
Evan                      : (memeluk Ibu)
Dua minggu setelah kematian Ayahnya, Evan sangat sedih. Namun, ibunya jauh lebih sedih. Tak mau makan, dan hanya duduk di kursi sambil menatap kosong ke depan. Evan semakin sedih melihat ibunya jatuh sakit.
Evan                      : “Bu, makanlah sedikit supaya Ibu tak sakit”
                                (menyodorkan mangkuk)
Ibu                         : (tak bergeming)
Evan                      : “Bu, Ibu tak boleh seperti ini. Ibu harus sehat”
                                (mengguncang pelan lengan ibu)
“Sebentar lagi Natal. Ibu harus sembuh. Kalau ibu sehat, kita bisa buat kue sama-sama seperi tahun lalu”
                                (sambil menangis dan menyuapi Ibu)
                                “Bu, Evan ga mau Natal sendirian. Ibu harus sehat dan nemenin Evan”
Semakin lama, kondisi Ibu semakin memburuk. Evan yang tak memilikii uang akhirnya berjualan kue keliling. Namun saat sedang berjualan, Evan bertemu dengan Pak Guru.
Evan                      : (duduk sambil menghitung uang)
Pak Guru              : (menghampiri Evan)
                                “Evan? Sedang apa kamu disini?”
Evan                      : (kaget)
                                “Pak Guru?”
                                (bingung)
“Saya… sedang jualan kue Pak”
Pak Guru              : “Kamu kemana saja selama ini? Sudah tiga minggu kamu tidak ikut sekolah. Ada apa memangnya?”
Evan                      : (menunduk)
“Sejak Ayah saya meninggal, Ibu saja jadi sakit-sakitan. Saya ga punya uang Pak. Makanya saya jualan untuk beli obat buat Ibu”
Pak Guru              : (berjongkok)
“Kenapa kamu tidak mengabari Bapak?”
Evan                      : “Maaf Pak. Saya memang sedih saat Ayah saya meninggal, tapi Ibu yang paling sedih sampai dia sakit. Dan melihat Ibu yang sakit-sakitan, saya yang paling sedih”
Pak Guru              : (menepuk-nepuk bahu Evan)
“Tabahlah Evan. Sekarang Tuhan sedang mengujimu”
Evan                      : “Iya, Pak”
Pak Guru              : (bangkit)
“Evan, kamu ingat? Waktu itu kamu pernah bilang bahwa kamu ingin menjadi dokter”
Evan                      : (bingung)
                                “Iya, Pak. Tapi itu mustahil Pak”
Pak Guru              : (berjalan-jalan sedikit)
“Mengapa mustahil? Kamu tahu pekerjaan seorang dokter? Mengobati orang sakit, bukan?”
(berhenti berjalan dan kembali berjongkok)
“Evan, percaya lah, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Kalau kamu tidak percaya, kamu bisa membuktikannya, dengan cara mewujudkan impian mu”
Evan                      : (diam)
                                “Pak”
Pak Guru              : “Ya?”
Evan                      : “Mungkin sekarang saya bisa memberikan alasan kenapa saya ingin menjadi dokter”
Pak Guru              : “Benarkah? Apa itu?”
Evan                      : “Saya ingin menyembuhkan Ibu saya”
                                (bangkit)
                                “Pak, saya harus pulang kerumah. Terimakasih Pak”
                                (mencium tangan Pak Guru dan langsung pergi)
Evan pun berlari menuju rumahnya. Ia ingin secepatnya menemui Ibu nya dan mengatakan sesuatu pada Ibu nya.
Evan                      : “Bu, Evan pulang!”
                                (meletakkan nampan dan berlari menghampiri Ibu)
Ibu                         : (menengok dan tersenyum)
Evan                      : (berlutut disamping kursi Ibu)
“Bu, dulu Evan pernah bilang kan kalau Evan pengen jadi dokter? Ibu bilang gak mungkin. Tapi Evan yakin Evan bisa!”
                                (menggenggam tangan Ibu)
“Bu, Evan pasti akan jadi dokter. Evan bakal nyembuhin Ibu. Pokoknya Evan yang bakal ngerawat Ibu sampe Ibu sembuh. Ibu pasti sembuh! Ibu pasti sehat lagi”
                                (menunduk)
                                “Bu, Evan sayang Ibu. Percaya sama Evan. Evan pasti akan jadi dokter!”
Ibu                         : (tersenyum dan mengusap kepala Evan)
Evan mulai masuk ke sekolah umum berkat bantuan Pak Guru. Di pagi hari, Evan belajar di sekolah. Pulangnya, Evan berjualan kue untuk tambahan membeli obat Ibunya. Pak Guru selalu membantu Evan, mulai dari menyekolahkan Evan, membiayai hidup Evan dan juga Ibunya, serta membawa Ibunya ke rumah sakit. Evan adalah anak yang rajin dan pantang menyerah. Ia terus berusaha tanpa kenal lelah demi mencapai impiannya. Sepuluh tahun berlalu setelah janji Evan pada Ibunya.
MONOLOG :
Evan                      : “Hai, Bu. Apa kabar? Aku datang lebih cepat karena tak sabar ingin bertemu denganmu”
                                (tersenyum)
“Bu, lihat lah aku.  Pakaian ku rapih dan bersih. Tidak kumal, tidak robek, dan tidak bau.”
(mengusap bahu dan mengendus lengan baju)
“Bu, lihat lah aku. Rambut ku rapih. Tidak seperti dulu, kasar dan berantakan. Sekarang juga aku pakai sepatu. Tidak seperti dulu, hanya memakai sendal jepit”
(mengangkat sedikit sepatunya)
“Bu lihat lah aku. Aku memakai jas putih. Ibu tahu orang-orang seperti apa yang memakai jas putih? Ya, Dokter Bu”
                                (diam)
“Bu, sudah sepuluh tahun setelah janjiku untuk menjadi dokter. Aku tak pernah lupa janji itu. Karena Ibu adalah alasan mengapa aku bisa sampai disini sekarang. Aku ingat, dulu aku bercerita pada Ibu bahwa Pak Guru menanyakan apa impianku. Waktu itu aku hanya menjawab sekenanya. Ibu pun juga berkata tak mungkin. Tapi lihatlah siapa yang sekarang berdiri ini? Ini anak mu, Bu. Anak mu yang memakai jas putih ini”
(menepuk-nepuk ke arah dada)
“Bu, mungkin saat aku dewasa seperti sekarang, kata-kata ku pada mu memang terdengar lucu. Impian seorang anak miskin yang Ayahnya kuli bangunan dan meninggal saat kerja, lalu Ibu nya hanya seorang penjual kue keliling. Anak itu dengan polosnya berkata “Bu, Evan pasti akan jadi dokter. Evan bakal nyembuhin Ibu. Pokoknya Evan yang bakal ngerawat Ibu sampe Ibu sembuh”. Terdengar seperti “Aku ingin jadi dokter supaya bisa nyembuhin Ibu ku yang sakit”. Lucu bukan? Ibu juga pasti akan tertawa jika mengingat kata-kata ku yang polos itu. Tapi, Bu, kata-kata itu sudah menjadi alasan ku disini sekarang.
                                (berjongkok)
“Bu, lihat lah. Aku bawa bunga mawar untuk mu. Dulu Ibu bilang ingin memajang bunga mawar di meja. Namun karena aku tak punya uang, aku hanya mampu membuat bunga dari kertas yang kubuat bersama Ira, Dimas,Roni dan Galih saat ulang tahun mu.
                                (menangis)
“Bu, maafkan aku. Aku tak berhasil mencapai impianku. Aku tak bisa menjadi dokter yang merawat Ibu sampai Ibu sembuh. Maafkan aku, Bu. Aku tak bisa lebih cepat menjadi dokter dan menolongmu. Maafkan aku. Aku terlambat. Maaf, Bu”
                                (berhenti menangis)
“Bu, sekarang aku punya sebuah impian baru. Aku ingin menolong orang-orang yang bernasib sama dengan Ibu. Aku pasti akan membantu mereka. Lihat lah aku, Bu. Aku akan membayar janji ku yang tak tercapai padamu”
                                (meletakkan bunga mawar)
                                “Selamat tinggal, Bu. Evan sayang Ibu”


-end-