PROLOG : Ini adalah sebuah kisah dari seorang anak manusia yang selalu
percaya pada kuasa Tuhan. Ia memiliki sebuah impian. Impian yang begitu polos.
Impian yang mustahil terwujud. Impian yang dengan mudahnya orang lain
tertawakan dan sepelekan. Tapi itulah impiannya. Ia adalah satu dari sekian
anak yang akan membuat hal tak mungkin menjadi mungkin.
Di bawah sebuah fly over, anak-anak pengamen,
pengemis, dan anak dari kalangan tak mampu berkumpul disana. Mereka sedang
belajar dengan seorang guru sukarelawan.
Pak Guru :
“Anak-anak, Bapak ingin bercerita sedikit. Kalian tahu mengapa Bapak menjadi
guru?”
Anak-anak : (duduk
berjejer setengah lingkaran)
“Tidak,
Pak”
Ira :
“Memangnya kenapa, Pak?”
Pak
Guru : “Sejak dulu Bapak
memiliki sebuah impian. Impian kecil yang perjuangannya cukup besar”
Galih : (melepas
emutan permen)
“Wah,
iya Pak? Apa impian Bapak?”
Pak Guru : “Bapak
tidak mau melihat anak yang tak bisa membaca atau menulis”
Roni : (heran)
“Ha?
Cuma itu, Pak?”
Pak Guru : (tersenyum)
“Iya, hanya itu.
Impian yang begitu kecil bukan? Tapi perjuangannya memang tak mudah. Dan
sekarang pun Bapak didepan kalian sedang berjuang. Dan sekarang giliran Bapak
yang ingin tahu, apa impian kalian? Mulai dari kamu, Dimas”
Dimas : (terkejut
dan mengarahkan telunjuk ke arah diri sendiri)
“Saya,
Pak?”
(bangkit)
“Saya
pengen jadi Pilot Pak! Supaya bisa jalan-jalan keliling dunia”
(membentangkan
tangan dan berlari-lari berkeliling)
Roni : “Kalo
saya maunya jadi orang kaya Pak! Biar gak disuruh ngemis-ngemis lagi”
(membuka
telapak tangan)
“dan
bisa beli sepatu yang bagus! Gak pake sendal jepit terus”
(menunjuk-nunjuk
kakinya)
Pak Guru : (menghentikan
Dimas dengan menarik tangannya)
“Impian
kamu hebat Dimas”
Dimas : (kembali
duduk sambil tertawa-tawa)
Pak
Guru : Roni, tidak selamanya
memliki segalanya akan menjamin kebahagianmu. Uang bukan lah segalanya di dunia
ini”
Roni : (menggaruk-garuk
kepala)
“Iya
sih Pak. Tapi saya tetep maunya jadi orang kaya! Asal ada duit, saya seneng
kok”
(menggesek-gesek
antara jari telunjuk dan ibu jari tangan kanannya)
Ira : (memukul
tangan Roni)
“Dasar pengemis matre!
Kalau saya mau jadi Guru. Saya ingin seperti Bapak, mengajar anak-anak yang
nasibnya sama seperti saya”
Roni :
“Dasar gak kreatif! Ngikut-ngikut Pak Guru doang”
Ira :
“Enak aja! Gue serius tauk!”
Pak
Guru : “Sudah, sudah jangan
bertengkar. Ira, impian kamu bagus. Bapak bangga dengan kamu. Tapi kamu harus
rajin belajar agar kamu bisa memiliki banyak ilmu yang dapat kamu bagikan ke orang
lain. Lalu Galih, apa impian kamu?”
Galih : (sambil
mengemut permen)
“Saya
mau jadi tukang bakso Pak. Supaya bisa makan bakso tiap hari”
Anak-anak : (tertawa)
Pak
Guru : “Galih, kamu ada-ada
saja. Lalu Evan, apa impian mu? Bapak lihat sejak tadi kamu diam saja”
Evan : (bingung)
“Impian
ya Pak? Apa ya Pak? Dokter mungkin? ”
Roni : “Serius apa lu bakal
jadi Dokter? Yang ada pasiennya gak sembuh-sembuh kalo dokternya model lo”
Evan : “Enak
aja lo!”
Pak
Guru : “Impian kamu bagus
Evan. Tapi sepertinya kamu belum yakin. Kamu bisa memberikan alasannya pada
Bapak?”
Evan :
(geleng-geleng)
Pak
Guru : “Kamu harus serius
mengejar impianmu. Kalau kamu sudah tau apa alasannya, beritahu Bapak ya?”
(menepuk pundak
Evan)
Setelah sekolah, Evan pun pulang ke rumah. Ia langsung menemui ibunya. Seperti biasanya,
ia akan menceritakan semua yang ia alami dii sekolah terbuka pada ibunya.
Evan : “Ibu
lagi bikin kue ya?”
(memangku
tangan)
Ibu : (sibuk
membuat kue)
“Iya,
mau ibu jual ke pasar nanti sore. Nanti kamu bantu Ibu jualan keliling ya?”
Evan : (mengangguk)
“Bu,
masa tadi Pak Guru nanya impian Evan”
Ibu :
“Terus kamu jawab apa?”
Evan : “Evan
bilang mau jadi dokter”
Ibu : (mengayunkan
tangan)
“Ngaco
kamu! Mana mungkin..”
Bu Tanti : (datang
panik dan tergesah-gesah)
“Bu,
Bu, gawat Bu!”
Ibu : (bingung)
“Ada
apa Bu Tanti?”
Evan :
(bangkit dan bingung)
Bu Tanti : “Suami
Ibu, Pak Trisna kecelakaan! Katanya jatuh dari kontruksi bangunan pas kerja!”
Ibu :
“APA?!”
(terjatuh)
“Ayah..”
(menangis
histeris)
Evan :
(memeluk Ibu)
Dua minggu setelah kematian Ayahnya, Evan sangat
sedih. Namun, ibunya jauh lebih sedih. Tak mau makan, dan hanya duduk di kursi sambil
menatap kosong ke depan. Evan semakin sedih melihat ibunya jatuh sakit.
Evan : “Bu,
makanlah sedikit supaya Ibu tak sakit”
(menyodorkan
mangkuk)
Ibu : (tak
bergeming)
Evan : “Bu, Ibu tak boleh
seperti ini. Ibu harus sehat”
(mengguncang
pelan lengan ibu)
“Sebentar lagi Natal.
Ibu harus sembuh. Kalau ibu sehat, kita bisa buat kue sama-sama seperi tahun
lalu”
(sambil
menangis dan menyuapi Ibu)
“Bu,
Evan ga mau Natal sendirian. Ibu harus sehat dan nemenin Evan”
Semakin lama, kondisi Ibu semakin memburuk. Evan yang
tak memilikii uang akhirnya berjualan kue keliling. Namun saat sedang berjualan,
Evan bertemu dengan Pak Guru.
Evan : (duduk
sambil menghitung uang)
Pak Guru :
(menghampiri Evan)
“Evan?
Sedang apa kamu disini?”
Evan :
(kaget)
“Pak
Guru?”
(bingung)
“Saya…
sedang jualan kue Pak”
Pak
Guru : “Kamu kemana saja
selama ini? Sudah tiga minggu kamu tidak ikut sekolah. Ada apa memangnya?”
Evan : (menunduk)
“Sejak Ayah saya
meninggal, Ibu saja jadi sakit-sakitan. Saya ga punya uang Pak. Makanya saya
jualan untuk beli obat buat Ibu”
Pak Guru : (berjongkok)
“Kenapa
kamu tidak mengabari Bapak?”
Evan : “Maaf Pak. Saya memang
sedih saat Ayah saya meninggal, tapi Ibu yang paling sedih sampai dia sakit.
Dan melihat Ibu yang sakit-sakitan, saya yang paling sedih”
Pak Guru : (menepuk-nepuk
bahu Evan)
“Tabahlah
Evan. Sekarang Tuhan sedang mengujimu”
Evan : “Iya,
Pak”
Pak Guru : (bangkit)
“Evan,
kamu ingat? Waktu itu kamu pernah bilang bahwa kamu ingin menjadi dokter”
Evan :
(bingung)
“Iya,
Pak. Tapi itu mustahil Pak”
Pak Guru : (berjalan-jalan
sedikit)
“Mengapa mustahil?
Kamu tahu pekerjaan seorang dokter? Mengobati orang sakit, bukan?”
(berhenti berjalan dan
kembali berjongkok)
“Evan, percaya lah,
tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Kalau kamu tidak percaya, kamu bisa
membuktikannya, dengan cara mewujudkan impian mu”
Evan : (diam)
“Pak”
Pak Guru : “Ya?”
Evan :
“Mungkin sekarang saya bisa memberikan alasan kenapa saya ingin menjadi dokter”
Pak Guru : “Benarkah?
Apa itu?”
Evan : “Saya
ingin menyembuhkan Ibu saya”
(bangkit)
“Pak,
saya harus pulang kerumah. Terimakasih Pak”
(mencium
tangan Pak Guru dan langsung pergi)
Evan pun berlari menuju rumahnya. Ia ingin secepatnya
menemui Ibu nya dan mengatakan sesuatu pada Ibu nya.
Evan : “Bu,
Evan pulang!”
(meletakkan
nampan dan berlari menghampiri Ibu)
Ibu :
(menengok dan tersenyum)
Evan : (berlutut
disamping kursi Ibu)
“Bu, dulu Evan pernah
bilang kan kalau Evan pengen jadi dokter? Ibu bilang gak mungkin. Tapi Evan
yakin Evan bisa!”
(menggenggam
tangan Ibu)
“Bu, Evan pasti akan
jadi dokter. Evan bakal nyembuhin Ibu. Pokoknya Evan yang bakal ngerawat Ibu
sampe Ibu sembuh. Ibu pasti sembuh! Ibu pasti sehat lagi”
(menunduk)
“Bu,
Evan sayang Ibu. Percaya sama Evan. Evan pasti akan jadi dokter!”
Ibu :
(tersenyum dan mengusap kepala Evan)
Evan mulai masuk ke sekolah umum berkat bantuan Pak
Guru. Di pagi hari, Evan belajar di sekolah. Pulangnya, Evan berjualan kue
untuk tambahan membeli obat Ibunya. Pak Guru selalu membantu Evan, mulai dari
menyekolahkan Evan, membiayai hidup Evan dan juga Ibunya, serta membawa Ibunya
ke rumah sakit. Evan adalah anak yang rajin dan pantang menyerah. Ia terus
berusaha tanpa kenal lelah demi mencapai impiannya. Sepuluh tahun berlalu
setelah janji Evan pada Ibunya.
MONOLOG :
Evan : “Hai, Bu. Apa kabar? Aku
datang lebih cepat karena tak sabar ingin bertemu denganmu”
(tersenyum)
“Bu,
lihat lah aku. Pakaian ku rapih dan
bersih. Tidak kumal, tidak robek, dan tidak bau.”
(mengusap
bahu dan mengendus lengan baju)
“Bu, lihat lah aku.
Rambut ku rapih. Tidak seperti dulu, kasar dan berantakan. Sekarang juga aku pakai
sepatu. Tidak seperti dulu, hanya memakai sendal jepit”
(mengangkat sedikit
sepatunya)
“Bu lihat lah aku. Aku
memakai jas putih. Ibu tahu orang-orang seperti apa yang memakai jas putih? Ya,
Dokter Bu”
(diam)
“Bu, sudah sepuluh
tahun setelah janjiku untuk menjadi dokter. Aku tak pernah lupa janji itu.
Karena Ibu adalah alasan mengapa aku bisa sampai disini sekarang. Aku ingat,
dulu aku bercerita pada Ibu bahwa Pak Guru menanyakan apa impianku. Waktu itu
aku hanya menjawab sekenanya. Ibu pun juga berkata tak mungkin. Tapi lihatlah
siapa yang sekarang berdiri ini? Ini anak mu, Bu. Anak mu yang memakai jas
putih ini”
(menepuk-nepuk ke arah
dada)
“Bu, mungkin saat aku
dewasa seperti sekarang, kata-kata ku pada mu memang terdengar lucu. Impian
seorang anak miskin yang Ayahnya kuli bangunan dan meninggal saat kerja, lalu
Ibu nya hanya seorang penjual kue keliling. Anak itu dengan polosnya berkata
“Bu, Evan pasti akan jadi dokter. Evan bakal nyembuhin Ibu. Pokoknya Evan yang
bakal ngerawat Ibu sampe Ibu sembuh”. Terdengar seperti “Aku ingin jadi dokter
supaya bisa nyembuhin Ibu ku yang sakit”. Lucu bukan? Ibu juga pasti akan
tertawa jika mengingat kata-kata ku yang polos itu. Tapi, Bu, kata-kata itu
sudah menjadi alasan ku disini sekarang.
(berjongkok)
“Bu, lihat lah. Aku
bawa bunga mawar untuk mu. Dulu Ibu bilang ingin memajang bunga mawar di meja.
Namun karena aku tak punya uang, aku hanya mampu membuat bunga dari kertas yang
kubuat bersama Ira, Dimas,Roni dan Galih saat ulang tahun mu.
(menangis)
“Bu, maafkan aku. Aku
tak berhasil mencapai impianku. Aku tak bisa menjadi dokter yang merawat Ibu
sampai Ibu sembuh. Maafkan aku, Bu. Aku tak bisa lebih cepat menjadi dokter dan
menolongmu. Maafkan aku. Aku terlambat. Maaf, Bu”
(berhenti
menangis)
“Bu, sekarang aku
punya sebuah impian baru. Aku ingin menolong orang-orang yang bernasib sama
dengan Ibu. Aku pasti akan membantu mereka. Lihat lah aku, Bu. Aku akan
membayar janji ku yang tak tercapai padamu”
(meletakkan
bunga mawar)
“Selamat
tinggal, Bu. Evan sayang Ibu”
-end-