Jumat, 08 Juni 2012

PSYCHO (part 2)


Setelah kejadian itu, sekolah ini tampak seperti sedia kala. Meskipun begitu, aku tetap sedikit merasa kehilangan. Sifa adalah satu-satunya anak yang menganggapku teman. Yah meskipun aku sendiri tak percaya akan teman. Teman itu hanya semu. Ikatan yang palsu. Teman itu hanya sebuah nama ikatan. Tak berarti telah menjadi bagian dari hidup manusia. Dan bagiku tak berpengaruh apapun dalam hidupku. Tapi aku tak keberatan jika Sifa menganggapku teman. Hubungan kami tidak akan berkembang lebih dalam karena ia sudah bahagia di atas sana.
Manusia memang makhluk sosial yang harus berinteraksi dengan sesamanya. Tapi bukan berarti kau harus ketergantungan. Aku tak suka bergantung pada manusia. Kuakui, Aku memang membutuhkan mereka dalam hidup ini, tapi aku tak mau menyebutnya bergantung. Lebih tepatnya "memanfaatkan". Jika ingin terus bertahan hidup, kau harus pintar-pintar memanfaatkan sekitarmu. Maka dari itu aku menutup segala bentuk interaksi. Hubungan ku dengan orang lain hanya kubuat semu. Tak ada ikatan dan tak akan terikat. Aku hanya mengikat diriku sendiri.
Guru ku saat ini tengah menerangkan tentang takdir. Ia bilang takdir dan nasib itu sama dan bisa diubah oleh manusia. Aku tak suka pendapatnya. Nasib manusia memang bisa diubah oleh manusia itu sendiri. Tapi takdir, sudah tercatat bahkan sebelum kita lahir. Takdir hidup kita mulai dari kita lahir hingga kita mati. Menurutku itu lucu. Manusia diciptakan tapi segala hal yang akan ia lakukan sudah tertulis rapih dalam skenario hidupnya. Lalu ada teman ku yang bertanya kalau ada orang yang ingin bunuh diri, apa itu termasuk takdirnya? Menurutku itu berbeda hal. Itu adalah pilihannya antara meneruskan takdir hidupnya atau memutus takdir hidupnya. Misalnya saja manusia itu dapat hidup 50 tahun lagi, namun ia memilih untuk bunuh diri. Itu sama saja memutus takdirnya. Dan ternyata Tuhan tak suka manusia yang keluar dari permainannya. Sehingga manusia yang memilih untuk memutus takdir di beri hukuman lebih berat dibanding manusia bejat dan keji selama hidupnya. Lucu bukan? Tapi tentu saja aku hanya diam dan tak ada niatan untuk menjawab pertanyaan temanku itu. Aku yang mulai bosan memutuskan untuk keluar kelas sekedar izin untuk ke toilet.
Saat tengah berjalan menuju kamar mandi, aku mendengar suara tangisan perempuan. Perlahan aku berjalan menuju suara tangisan itu. Aku melihat dari balik tembok dan kulihat seorang siswi tengah menangis sendirian diantara celah antar gedung sekolah yang gelap dan sempit. Pakaiannya begitu kotor dan berantakan. Aku memang tak dapat melihat wajahnya dengan jelas, namun perempuan itu terlihat sangat kacau. Sambil terisak, perempuan itu merogoh tas nya mencari sesuatu. Dan benda itu adalah sebilah pisau. Ia menggenggam pisau itu dengan kedua tangannya dan mengarahkan pisau itu ke perutnya.
"Apa yang akan kau lakukan?"
Mendengar pertanyaanku, perempuan itu tersentak dan berbalik. Kini ia balik mengacungkan pisau yang ia genggam ke arahku.
"Si-siapa lo? Jangan campuri urusan gue! Pergi!"
"Apa yang akan kau lakukan?"
"Bukan urusan lo! Pergi! Kalo lo gak pergi, gue akan ngebunuh lo!" Ancam perempuan itu.
Aku berjalan mendekati perempuan itu. Perempuan itu tampak sangat ketakutan. Ia menjaga jarak dengan ku, namun tempat ini begitu sempit. Perempuan itu tak bisa pergi menjauhi ku. Aku pun menggenggam mata pisau itu. Ku genggam dengan kuat hingga tangan ku meneteskan darah. Aku menarik pisau itu dari tangan perempuan itu dan perempuan itu pun melepaskannya karena ketakutan. Tiba-tiba perempuan itu terjatuh berlutut didepanku. Ia kembali menangis.
"Gue mohon.. Bunuh gue! Bunuh gue sekarang! Gue gak mau hidup lagi!"
"Apa alasannya?" Tanya ku datar.
"Gue.. Gue udah gak pantes hidup lagi. Gue udah kotor! Gue udah dinodai! Gue gak mau hidup lagi!"
"Siapa yang membuatmu seperti ini?'
Akhirnya Perempuan itu pun menceritakan semuanya sambil menangis didepan ku. Perempuan itu bernama Sisi. Ia adalah murid yang se angkatan denganku. Ia hendak bunuh diri karena telah kehilangan kehormatannya. Yang melakukannya adalah wali kelasnya sendiri. Cih. Betapa nista nya makhluk yang bernama manusia. Manusia itu bukanlah makhluk yang memiliki jiwa. Ia hanya tulang berbalut daging yang di gerakkan oleh ego dan hawa nafsu. Benar-benar menjijikan.
"Kau minta agar aku membunuhmu?" Tanya ku yang membuat tangisnya berhenti.
"Ya.. Kalo lo gak mau, gue akan bunuh diri sendiri"
"Apa kau tak akan menyesal?"
"Gak! Gue malah nyesel karena gue lahir dan hidup cuma untuk hal ini. Mending gue mati sekalian!"
"Aku akan membantu mu. Aku tak akan membiarkan mu untuk bunuh diri. Jika kau bunuh diri, sama saja kau memutus takdirmu sendiri dan perbuatanmu akan sia-sia karena kau akan masuk neraka"
"Terus gue harus gimana? Gue udah gak mau hidup lagi! Gue gak mau hidup dengan keadaan kayak gini!"
"Aku akan membantu mu" ucapku sambil tersenyum.
Aku mengambil sapu tangan dari saku ku dan membungkus gagang pisau itu. Dengan cepat aku menusukkan pisau ke perut Sisi. Sisi pun langsung jatuh terkapar. Sapu tangan ku yang bersimbah darah kulipat lagi dan ku simpan. Tanganku yang terkena cucuran darah ku jilati di setiap sisinya.
Aku berjalan menuju ruang guru. Di ruang guru tampak hanya beberapa orang guru yang sangat sibuk. Ku rasa mereka bahkan tak menyadari keberadaanku. Aku menuju ke bagian belakang dari ruangan itu dan menemukan meja Pak Deni. Ku letakkan sapu tangan ku diatas meja itu dan bergegas pergi.
Saat sore harinya, aku meletakkan sebuah kotak dan surat di kursi mobil Pak Deni. Setelah itu aku bersembunyi ditempat kursi mobil belakang Pak Deni. Saat Ia hendak menstarter mobilnya, ku lihat Pak Deni menyadari kotak besar dan surat ku.
"Kado? Gede banget.. Dari siapa nih? Ada suratnya"
Surat itu kutulis menggunakan darah Sisi yang bertuliskan "Karena mu, aku mati. Maka sekarang kau yang harus mati!"
"Apaan sih? Paling kerjaan orang iseng!"
Sambil menyetir, ia membuka kotak itu. Dalam kotak itu adalah penggalan kepala Sisi yang tak bermata. Separuh wajahnya adalah tengkorak. Penggalan kepala itu berlumur darah. Pak Deni menjerit kaget dan melempar kotak itu. Hal itu membuat mobil Pak Deni tak terkendali sehingga ia menabrak sebuah pohon besar. Kepalanya berbenturan keras dengan setir mobil. Ia tak sadarkan diri. Aku keluar dari persembunyianku sambil menggotong sekantung plastik hitam besar. Aku duduk di kursi belakang dan ku letakkan plastik besar itu disampingku.
Tak berapa lama Pak Deni sadar. Ia merasa tangan kirinya memegang tangan seseorang. Saat ia melihat ke sebelahnya, ternyata potongan tubuh mayat menggunakan seragam sisiwi SMU tanpa kepala, kaki dan tangan kiri yang terduduk di kursi sebelahnya. Ia menjerit histeris. Berusaha membuka pintu mobilnya yang jelas sejak tadi ku kunci semua. Saat ia hendak menengok ke belakang, tepat di depan mukanya tergantung penggalan kepala yang di dalam kotak tersebut. Ia menjerit seperti orang gila.
"Tolong! Tolong keluarkan aku dari sini! Toloongg!"
"Kau tak akan bisa keluar" ucap ku
Ia terkejut ada suara orang. Perlahan ia menengok ke belakangnya dan ia mendapati sosok ku yang sedang duduk anggun sambil menggenggam sebuah bola mata dan melahapnya. Ia kembali menjerit ketakutan.
"Toloong! Tolong keluarkan aku dari sini! Toloong!!" Teriaknya sambil memukul-mukul kaca jendela.
"Kau tahu kepala siapa itu? Kau tahu tubuh siapa yang ada di sampingmu? Kau tahu? Itu adalah mayat dari murid yang kau lecehkan. Ia mati karena mu. Sekarang giliran kau!"
Aku lansgung merentangkan tali tambang dan mengalungi tali tambang itu ke leher pak Deni. Ku jerat dan ku ikat pada kursi mobilnya. Tangannya yang hendak menahan jeratan tali itu langsung ku tarik ke belakang dan ku ikat dengan kencang. Tak lupa ku bekap mulutnya yang sangat mengganggu itu. Jeritannya tak semerdu korban-korbanku sebelumnya. Malah membuat telinga ku sakit. Mungkin karena kami berada di tempat yang sempit seperti mobil ini.  Aku yang kesal akibat jeritannya yang membuat telingaku sakit, kini benar-benar bernafsu untuk menyiksanya. Aku bangkit. Melempar tubuh mayat Sisi ke pangkuan Pak Deni. Pak Deni membelalakkan matanya. Tubuhnya sengaja diguncang-guncang agar ikatannya lepas. Tapi aku tak bodoh. Tak mungkin ikatan itu dapat lepas dengan mudah. Aku duduk di kursi sebelah Pak Deni. Mengeluarkan sebilah pisau dan sebuah kapak besar. Cocok untuk memenggal apa pun.
"Kau tahu bahwa kau orang jahat?"
Aku merobek lengan baju kiri Pak deni hingga menampilkan lengannya.
"Kau tahu bahwa orang jahat harus dihukum?"
Aku langsung menancapkan pisau ku ke lengan Pak Deni. Ku tancapkan hingga pisau itu menembus daging lengannya. Ia berteriak kesakitan. Namun teriakannya hanya suara geraman kecil akibat mulutnya yang dibungkam. Ku rasa suara seperti ini juga lumayan merdu. Wajah Pak Deni sangat ketakutan dan menahan sakit. Seolah-olah ia baru saja melihat malaikat penjemput nyawa dengan sabit besar menghampirinya.
"Dan inilah hukuman untukmu. Nikmatilah"
Ku koyak daging lengan Pak Deni. Ia berteriak-teriak dibarengi dengan darah segar mengucur deras dari lengannya. Dagingnya yang bergelayutan pun ku kikis dan ku iris-iris. Seperti aku mengiris daging sapi. Tak perduli Pak Deni terus-menerus menjerit hingga menangis. Ia bergerak kesana kemari. Mencari jalan untuk lepas dari siksaan ini. Lengan itu hanya tersisa tulang. Lengan dagingnya sudah ku kuliti.
Aku pun beralih ke paha nya. Ku robek celana bagian paha. Sama seperti tadi. Aku langsung menancapkan pisau ku pada pahanya. Membuatnya menjerit lebih keras dan meronta-ronta. Nafasnya memburu. Kesakitan-kesakitan tergambar jelas di wajahnya. Ku cabut pisau ku. Tanpa basa-basi, aku langsung menguliti paha itu hingga menampakkan jelas daging dan darahnya. Aku meraih sesuatu dari tas ku dan kudapati sebotol garam. Garam itu langsung ku taburkan di atas daging itu. Pak Deni menjerit pedih. Ia sampai menangis dan meronta-ronta kasar. Aku tak puas hanya menguliti daging lengan dan pahanya saja. Aku mengambil pisau lain di tas ku yang ukurannya sedikit lebih kecil. Kini sasaran ku adalah telinganya. Ku iris telinganya sedikit demi sedikit sehingga menghasilkan sensasi kengiluan. Kepala Pak Deni tak bisa diam. Terus bergerak kesana kemari. Membuatku semaki kesal. Ku ikat kan kawat yang mengitari pipi dan hidungnya ke jok mobilnya. Ku ikat dengan sangat kencang hingga kawat kecil itu menembus sedikit kulit wajahnya. Menyebabkan darah-darah segar mengalir. Lalu kulanjutkan kembali mengiris sedikit demi sedikit kuping kirinya. Sengaja tak ku iris sampai benar-benar terpotong. Membiarkan daun telinga pak Deni menggantung dengan darah-darahnya. Ia pun semakin ketakutan. Rontaan dan jeritan dibalik bekaman mulut itu terganti dengan nafasnya yang tersengal-sengal. Tanpa basa-basi, aku langsung menarik dengan keras dan cepat daun telinga Pak Deni. Membuat Pak Deni berteriak sangat kencang. Ia lalu menangis.
"Kau menangis Pak? Aku jadi ingin sekali membuat air mata itu berwarna. Warna yang paling aku sukai. Warna merah" ucapku sambil langsung menancapkan pisau yang ku genggam ke bola mata Pak Deni.
Ia menjerit. Meronta kesana-kemari. Kemudian menangis lagi. Tapi yang mengalir di mata kirinya bukanlah air mata. Melainkan darah. Darah segar. Mengalir begitu deras.
"Jangan menangis Pak. Tangisan mu sudah tak berharga lagi. Jika kau ingin menangis, harusnya kau lakukan sebelum kau melakukan hal bejat itu." Ucapku sambil mengusap darah yang mengalir di pipi Pak Deni. Kujilat darah itu ditanganku.
"Kau tahu Pak? Aku masih terlalu baik padamu. Jika kau bukan guru ku, aku pasti akan melakukan hal lebih kejam lagi. Membuatmu hingga meminta agar aku cepat-cepat membunuhmu."
"Baiklah aku tak mau berlama-lama lagi. Tolong ucapkan salamku pada Sisi, Pak Deni"
Aku langsung bangkit sambil menggenggam sebilah kapak. Aku menurunkan kursi jok Pak Deni kebelakang hingga Pak Deni setengah terbaring diatas kursinya. Aku mengambil langkah kaki kiri ku melangkahi Pak Deni, hingga posisi ku berdiri diatasnya. Jika tidak begini, akan sulit mengayunkan sebuah kapak ini.
"Selamat tinggal, Pak. Semoga hidupmu tidak akan pernah tenang disana. Selamanya.."
Ku ayunkan kapak itu ke arah Pak Deni. Ia menjerit. Sebelah bola matanya melotot seperti ingin mencuat keluar. Dengan cepat kapak itu langsung tertancap ke tengkorak Pak Deni. Melintang membelah kepalanya. Dan seketika itu pula ia mati.

end/to be continue?