Setelah kejadian itu, sekolah ini tampak seperti sedia kala. Meskipun
begitu, aku tetap sedikit merasa kehilangan. Sifa adalah satu-satunya anak yang
menganggapku teman. Yah meskipun aku sendiri tak percaya akan teman. Teman itu
hanya semu. Ikatan yang palsu. Teman itu hanya sebuah nama ikatan. Tak berarti
telah menjadi bagian dari hidup manusia. Dan bagiku tak berpengaruh apapun
dalam hidupku. Tapi aku tak keberatan jika Sifa menganggapku teman. Hubungan
kami tidak akan berkembang lebih dalam karena ia sudah bahagia di atas sana.
Manusia memang makhluk sosial yang harus berinteraksi dengan sesamanya.
Tapi bukan berarti kau harus ketergantungan. Aku tak suka bergantung pada
manusia. Kuakui, Aku memang membutuhkan mereka dalam hidup ini, tapi aku tak
mau menyebutnya bergantung. Lebih tepatnya "memanfaatkan". Jika ingin
terus bertahan hidup, kau harus pintar-pintar memanfaatkan sekitarmu. Maka dari
itu aku menutup segala bentuk interaksi. Hubungan ku dengan orang lain hanya
kubuat semu. Tak ada ikatan dan tak akan terikat. Aku hanya mengikat diriku
sendiri.
Guru ku saat ini tengah menerangkan tentang takdir. Ia bilang takdir dan
nasib itu sama dan bisa diubah oleh manusia. Aku tak suka pendapatnya. Nasib
manusia memang bisa diubah oleh manusia itu sendiri. Tapi takdir, sudah
tercatat bahkan sebelum kita lahir. Takdir hidup kita mulai dari kita lahir
hingga kita mati. Menurutku itu lucu. Manusia diciptakan tapi segala hal yang
akan ia lakukan sudah tertulis rapih dalam skenario hidupnya. Lalu ada teman ku
yang bertanya kalau ada orang yang ingin bunuh diri, apa itu termasuk
takdirnya? Menurutku itu berbeda hal. Itu adalah pilihannya antara meneruskan
takdir hidupnya atau memutus takdir hidupnya. Misalnya saja manusia itu dapat
hidup 50 tahun lagi, namun ia memilih untuk bunuh diri. Itu sama saja memutus
takdirnya. Dan ternyata Tuhan tak suka manusia yang keluar dari permainannya.
Sehingga manusia yang memilih untuk memutus takdir di beri hukuman lebih berat
dibanding manusia bejat dan keji selama hidupnya. Lucu bukan? Tapi tentu saja
aku hanya diam dan tak ada niatan untuk menjawab pertanyaan temanku itu. Aku
yang mulai bosan memutuskan untuk keluar kelas sekedar izin untuk ke toilet.
Saat tengah berjalan menuju kamar mandi, aku mendengar suara tangisan
perempuan. Perlahan aku berjalan menuju suara tangisan itu. Aku melihat dari
balik tembok dan kulihat seorang siswi tengah menangis sendirian diantara celah
antar gedung sekolah yang gelap dan sempit. Pakaiannya begitu kotor dan
berantakan. Aku memang tak dapat melihat wajahnya dengan jelas, namun perempuan
itu terlihat sangat kacau. Sambil terisak, perempuan itu merogoh tas nya
mencari sesuatu. Dan benda itu adalah sebilah pisau. Ia menggenggam pisau itu
dengan kedua tangannya dan mengarahkan pisau itu ke perutnya.
"Apa yang akan kau lakukan?"
Mendengar pertanyaanku, perempuan itu tersentak dan berbalik. Kini ia
balik mengacungkan pisau yang ia genggam ke arahku.
"Si-siapa lo? Jangan campuri urusan gue! Pergi!"
"Apa yang akan kau lakukan?"
"Bukan urusan lo! Pergi! Kalo lo gak pergi, gue akan ngebunuh
lo!" Ancam perempuan itu.
Aku berjalan mendekati perempuan itu. Perempuan itu tampak sangat
ketakutan. Ia menjaga jarak dengan ku, namun tempat ini begitu sempit.
Perempuan itu tak bisa pergi menjauhi ku. Aku pun menggenggam mata pisau itu.
Ku genggam dengan kuat hingga tangan ku meneteskan darah. Aku menarik pisau itu
dari tangan perempuan itu dan perempuan itu pun melepaskannya karena ketakutan.
Tiba-tiba perempuan itu terjatuh berlutut didepanku. Ia kembali menangis.
"Gue mohon.. Bunuh gue! Bunuh gue sekarang! Gue gak mau hidup
lagi!"
"Apa alasannya?" Tanya ku datar.
"Gue.. Gue udah gak pantes hidup lagi. Gue udah kotor! Gue udah
dinodai! Gue gak mau hidup lagi!"
"Siapa yang membuatmu seperti ini?'
Akhirnya Perempuan itu pun menceritakan semuanya sambil menangis didepan
ku. Perempuan itu bernama Sisi. Ia adalah murid yang se angkatan denganku. Ia
hendak bunuh diri karena telah kehilangan kehormatannya. Yang melakukannya
adalah wali kelasnya sendiri. Cih. Betapa nista nya makhluk yang bernama
manusia. Manusia itu bukanlah makhluk yang memiliki jiwa. Ia hanya tulang
berbalut daging yang di gerakkan oleh ego dan hawa nafsu. Benar-benar
menjijikan.
"Kau minta agar aku membunuhmu?" Tanya ku yang membuat
tangisnya berhenti.
"Ya.. Kalo lo gak mau, gue akan bunuh diri sendiri"
"Apa kau tak akan menyesal?"
"Gak! Gue malah nyesel karena gue lahir dan hidup cuma untuk hal
ini. Mending gue mati sekalian!"
"Aku akan membantu mu. Aku tak akan membiarkan mu untuk bunuh diri.
Jika kau bunuh diri, sama saja kau memutus takdirmu sendiri dan perbuatanmu
akan sia-sia karena kau akan masuk neraka"
"Terus gue harus gimana? Gue udah gak mau hidup lagi! Gue gak mau
hidup dengan keadaan kayak gini!"
"Aku akan membantu mu" ucapku sambil tersenyum.
Aku mengambil sapu tangan dari saku ku dan membungkus gagang pisau itu.
Dengan cepat aku menusukkan pisau ke perut Sisi. Sisi pun langsung jatuh
terkapar. Sapu tangan ku yang bersimbah darah kulipat lagi dan ku simpan.
Tanganku yang terkena cucuran darah ku jilati di setiap sisinya.
Aku berjalan menuju ruang guru. Di ruang guru tampak hanya beberapa orang
guru yang sangat sibuk. Ku rasa mereka bahkan tak menyadari keberadaanku. Aku
menuju ke bagian belakang dari ruangan itu dan menemukan meja Pak Deni. Ku letakkan
sapu tangan ku diatas meja itu dan bergegas pergi.
Saat sore harinya, aku meletakkan sebuah kotak dan surat di kursi mobil
Pak Deni. Setelah itu aku bersembunyi ditempat kursi mobil belakang Pak Deni.
Saat Ia hendak menstarter mobilnya, ku lihat Pak Deni menyadari kotak besar dan
surat ku.
"Kado? Gede banget.. Dari siapa nih? Ada suratnya"
Surat itu kutulis menggunakan darah Sisi yang bertuliskan "Karena
mu, aku mati. Maka sekarang kau yang harus mati!"
"Apaan sih? Paling kerjaan orang iseng!"
Sambil menyetir, ia membuka kotak itu. Dalam kotak itu adalah penggalan
kepala Sisi yang tak bermata. Separuh wajahnya adalah tengkorak. Penggalan
kepala itu berlumur darah. Pak Deni menjerit kaget dan melempar kotak itu. Hal
itu membuat mobil Pak Deni tak terkendali sehingga ia menabrak sebuah pohon
besar. Kepalanya berbenturan keras dengan setir mobil. Ia tak sadarkan diri.
Aku keluar dari persembunyianku sambil menggotong sekantung plastik hitam
besar. Aku duduk di kursi belakang dan ku letakkan plastik besar itu
disampingku.
Tak berapa lama Pak Deni sadar. Ia merasa tangan kirinya memegang tangan
seseorang. Saat ia melihat ke sebelahnya, ternyata potongan tubuh mayat
menggunakan seragam sisiwi SMU tanpa kepala, kaki dan tangan kiri yang terduduk
di kursi sebelahnya. Ia menjerit histeris. Berusaha membuka pintu mobilnya yang
jelas sejak tadi ku kunci semua. Saat ia hendak menengok ke belakang, tepat di
depan mukanya tergantung penggalan kepala yang di dalam kotak tersebut. Ia
menjerit seperti orang gila.
"Tolong! Tolong keluarkan aku dari sini! Toloongg!"
"Kau tak akan bisa keluar" ucap ku
Ia terkejut ada suara orang. Perlahan ia menengok ke belakangnya dan ia
mendapati sosok ku yang sedang duduk anggun sambil menggenggam sebuah bola mata
dan melahapnya. Ia kembali menjerit ketakutan.
"Toloong! Tolong keluarkan aku dari sini! Toloong!!" Teriaknya
sambil memukul-mukul kaca jendela.
"Kau tahu kepala siapa itu? Kau tahu tubuh siapa yang ada di
sampingmu? Kau tahu? Itu adalah mayat dari murid yang kau lecehkan. Ia mati
karena mu. Sekarang giliran kau!"
Aku lansgung merentangkan tali tambang dan mengalungi tali tambang itu ke
leher pak Deni. Ku jerat dan ku ikat pada kursi mobilnya. Tangannya yang hendak
menahan jeratan tali itu langsung ku tarik ke belakang dan ku ikat dengan
kencang. Tak lupa ku bekap mulutnya yang sangat mengganggu itu. Jeritannya tak
semerdu korban-korbanku sebelumnya. Malah membuat telinga ku sakit. Mungkin
karena kami berada di tempat yang sempit seperti mobil ini. Aku yang kesal akibat jeritannya yang membuat
telingaku sakit, kini benar-benar bernafsu untuk menyiksanya. Aku bangkit.
Melempar tubuh mayat Sisi ke pangkuan Pak Deni. Pak Deni membelalakkan matanya.
Tubuhnya sengaja diguncang-guncang agar ikatannya lepas. Tapi aku tak bodoh.
Tak mungkin ikatan itu dapat lepas dengan mudah. Aku duduk di kursi sebelah Pak
Deni. Mengeluarkan sebilah pisau dan sebuah kapak besar. Cocok untuk memenggal
apa pun.
"Kau tahu bahwa kau orang jahat?"
Aku merobek lengan baju kiri Pak deni hingga menampilkan lengannya.
"Kau tahu bahwa orang jahat harus dihukum?"
Aku langsung menancapkan pisau ku ke lengan Pak Deni. Ku tancapkan hingga
pisau itu menembus daging lengannya. Ia berteriak kesakitan. Namun teriakannya
hanya suara geraman kecil akibat mulutnya yang dibungkam. Ku rasa suara seperti
ini juga lumayan merdu. Wajah Pak Deni sangat ketakutan dan menahan sakit.
Seolah-olah ia baru saja melihat malaikat penjemput nyawa dengan sabit besar
menghampirinya.
"Dan inilah hukuman untukmu. Nikmatilah"
Ku koyak daging lengan Pak Deni. Ia berteriak-teriak dibarengi dengan
darah segar mengucur deras dari lengannya. Dagingnya yang bergelayutan pun ku
kikis dan ku iris-iris. Seperti aku mengiris daging sapi. Tak perduli Pak Deni
terus-menerus menjerit hingga menangis. Ia bergerak kesana kemari. Mencari
jalan untuk lepas dari siksaan ini. Lengan itu hanya tersisa tulang. Lengan
dagingnya sudah ku kuliti.
Aku pun beralih ke paha nya. Ku robek celana bagian paha. Sama seperti
tadi. Aku langsung menancapkan pisau ku pada pahanya. Membuatnya menjerit lebih
keras dan meronta-ronta. Nafasnya memburu. Kesakitan-kesakitan tergambar jelas
di wajahnya. Ku cabut pisau ku. Tanpa basa-basi, aku langsung menguliti paha
itu hingga menampakkan jelas daging dan darahnya. Aku meraih sesuatu dari tas
ku dan kudapati sebotol garam. Garam itu langsung ku taburkan di atas daging
itu. Pak Deni menjerit pedih. Ia sampai menangis dan meronta-ronta kasar. Aku
tak puas hanya menguliti daging lengan dan pahanya saja. Aku mengambil pisau
lain di tas ku yang ukurannya sedikit lebih kecil. Kini sasaran ku adalah
telinganya. Ku iris telinganya sedikit demi sedikit sehingga menghasilkan
sensasi kengiluan. Kepala Pak Deni tak bisa diam. Terus bergerak kesana kemari.
Membuatku semaki kesal. Ku ikat kan kawat yang mengitari pipi dan hidungnya ke
jok mobilnya. Ku ikat dengan sangat kencang hingga kawat kecil itu menembus
sedikit kulit wajahnya. Menyebabkan darah-darah segar mengalir. Lalu
kulanjutkan kembali mengiris sedikit demi sedikit kuping kirinya. Sengaja tak
ku iris sampai benar-benar terpotong. Membiarkan daun telinga pak Deni
menggantung dengan darah-darahnya. Ia pun semakin ketakutan. Rontaan dan
jeritan dibalik bekaman mulut itu terganti dengan nafasnya yang
tersengal-sengal. Tanpa basa-basi, aku langsung menarik dengan keras dan cepat
daun telinga Pak Deni. Membuat Pak Deni berteriak sangat kencang. Ia lalu
menangis.
"Kau menangis Pak? Aku jadi ingin sekali membuat air mata itu
berwarna. Warna yang paling aku sukai. Warna merah" ucapku sambil langsung
menancapkan pisau yang ku genggam ke bola mata Pak Deni.
Ia menjerit. Meronta kesana-kemari. Kemudian menangis lagi. Tapi yang
mengalir di mata kirinya bukanlah air mata. Melainkan darah. Darah segar.
Mengalir begitu deras.
"Jangan menangis Pak. Tangisan mu sudah tak berharga lagi. Jika kau
ingin menangis, harusnya kau lakukan sebelum kau melakukan hal bejat itu."
Ucapku sambil mengusap darah yang mengalir di pipi Pak Deni. Kujilat darah itu
ditanganku.
"Kau tahu Pak? Aku masih terlalu baik padamu. Jika kau bukan guru
ku, aku pasti akan melakukan hal lebih kejam lagi. Membuatmu hingga meminta
agar aku cepat-cepat membunuhmu."
"Baiklah aku tak mau berlama-lama lagi. Tolong ucapkan salamku pada
Sisi, Pak Deni"
Aku langsung bangkit sambil menggenggam sebilah kapak. Aku menurunkan
kursi jok Pak Deni kebelakang hingga Pak Deni setengah terbaring diatas
kursinya. Aku mengambil langkah kaki kiri ku melangkahi Pak Deni, hingga posisi
ku berdiri diatasnya. Jika tidak begini, akan sulit mengayunkan sebuah kapak
ini.
"Selamat tinggal, Pak. Semoga hidupmu tidak akan pernah tenang disana.
Selamanya.."
Ku ayunkan kapak itu ke arah Pak Deni. Ia menjerit. Sebelah bola matanya
melotot seperti ingin mencuat keluar. Dengan cepat kapak itu langsung tertancap
ke tengkorak Pak Deni. Melintang membelah kepalanya. Dan seketika itu pula ia
mati.
end/to be continue?