Rabu, 17 Juli 2013

DIA

Dia itu sosok yang mendekati sempurna. Cucu Adam yang elok. Hidung mancungnya, bibir tipisnya, rambut hitam tebalnya. Tatap matanya bagaikan anak panah sang Eros. Begitu lembut dan damai, namun tajam saat melihat lekat. Ia memiliki kharisma rupawan yang terpancar. Tapi entah aura gelap apa yang telah menyelimuti raga tersebut. Bagai terkungkung sendiri di dalam lubang yang begitu gelap dengan dinding-dinding tanpa celah. Sendirian, tanpa cahaya, dan tanpa kehangatan.
“Bro, nomor ini gimana caranya?” Tanya teman sebangkunya, mengendurkan kerutan dahi yang ia bentuk saat menatap soal-soal berbau rumus itu.
“Yang mana?”
“Yang ini, nomor 3. Pake rumus apa ya?”
“Oh itu pake rumus interferensi cahaya. Pertama cari dulu lamdanya. Di soal kan diketahui gelombang sama waktunya” Jelasnya.
“Wah iya kepikiran aja lo pake rumus itu! Thank’s ya!”
Ia kembali tenggelam dalam soal-soal yang membelit pikirannya. Mengajak otaknya bergelut dengan rumus-rumus itu lagi. Matanya bahkan hampir jarang berkedip. Melihatnya yang seperti ini, membuat tatapanku tak kalah lekat dengan dirinya yang menatap lembaran kertas-kertas itu. Seakan debaranku tak mau berhenti, jika saja aku di anugrahi jantung oleh Tuhan.
Keseriusannya terpecah saat suara nyaring bergema dari speaker kelas. Tanda bahwa sekolah hari ini telah usai. Ia rapihkan buku-buku serta alat-alat tulisnya lalu ia masukkan segala perkakas belajarnya ke dalam tas ranselnya.
“Eh, eh, ikut futsal kagak lo?” Tanya temannya sambil menarik bahunya dari belakang. Membuat langkahnya terhenti ketika sejengkal lagi keluar dari kelasnya itu.
“Enggak kayaknya. Mau langsung balik gue” Jawabnya tak enak hati.
“Oh okedeh” Ucap temannya dengan nada sedikit kecewa.
Dan ia pun kembali melangkah, menuju dimana mesin berodaranya terparkir. Kuamati ia tengah merogoh sakunya, mengeluarkan kunci serta kartu parkir. Lantas ia ambil helmnya yang tergantung di spion motornya dan ia naiki motornya itu. Saat mulai menstarter motornya, kuperhatikan ekspresinya tersirat keterkejutan. Kehadiran seorang wanita yang tiba-tiba berdiri didepannya menjadi penyebab dari ekspresi itu.
“Kenapa kamu tidak ikut pergi dengan teman-temanmu saja?” Tanya wanita itu dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
Penampilannya agak lusuh serta wajahnya sedikit pucat. Kurasakan auranya begitu gelap. Mungkin tak akan ada yang menyadari keberadaannya jika ia tak menampakkan diri atau membuka mulutnya untuk berbicara.
Kulihat dia mendelik dan mengabaikan wanita itu dengan pertanyaannya. Terbukti dengan dirinya yang tetap menjalankan motornya yang sudah menyala.
“Jangan pergi!” Cegat wanita itu. “Jangan lewati jalan itu! Aku memperingatkanmu jika kau masih ingin tetap hidup” Ucapnya dengan senyum tipis.
“Jangan percaya dia. Hidup-matimu tidak ditentukan olehnya” Bisikku.
Kulihat dia tersenyum dan kembali mengendarai motornya. Meninggalkan wanita itu tanpa berkata sepatah kata pun. Tak berapa jauh, ia melirik ke kaca spion dan wanita tadi telah lenyap dari tempatnya berdiri.
Ia kembalikan pandangannya ke depan, melanjutkan perjalanannya menuju tempat dimana ia sebut “rumah”. Di tengah jalan besar yang cukup sepi, tiba-tiba seekor kucing putih melintas dengan cepat. Dia pun sontak menarik rem dengan kedua tangannya. Sempat terangkat sedikit ban belakang motornya akibat rem dadakan itu. Kucing itu dan ban motornya tak bisa saling mengelak. Pertemuan keduanya membuat si kucing putih itu terlindas, tergeletak di aspal dengan bermandikan darah. Bulu yang semula berwarna putih cemerlang, kini terciprat warna merah tua disana-sini. Kucing itu tak berdaya, ia seolah sekarat sambil merintih sakit. Dia pun hendak turun dari motornya, mencoba mendekati kucing putih itu yang nyawanya tak mungkin tertolong lagi.
“Jangan! Lanjutkan saja perjalanamu” Bisikku mencegahnya.
Seolah patuh, dia pun kembali melanjutkan perjalanannya dengan meninggalkan kucing putih yang tergeletak di tengah jalan besar beraspal itu. Bukan, bukan kucing putih yang tadi di jalan besar itu. Tak ada apapun disana. Bahkan setetes darah dari kucing itu pun tak terlihat. Tanpa dia tahu, sebuah papan reklame di jalan itu jatuh tepat dimana ia meninggalkan tempat itu.
Jalanan saat itu tak begitu ramai. Langit kemerahan perlahan menjadi gelap. Awan-awan saling bergumul diselingi dengan gemuruh langit-langit kegelapan. Titik demi titik penyokong kehidupan makhluk bumi mulai turun. Seakan mengajak teman-temannya untuk ikut melesat turun ke bumi bersama-sama, dalam waktu sekejap pun mereka datang berama-ramai. Membuat para makhluk yang disebut manusia itu kocar-kacir mencari tempat meneduh.
Dia pun ikut basah kuyup. Seragam SMA-nya tak lagi sekaku tadi. Bahkan bau asap jalanan yang melekat kuat di seragam itu telah luluh bersamaan diguyurnya air hujan. Ia meminggirkan motornya dan memarkirkannya di depan sebuah toko. Cepat-cepat ia turun dari motornya dan berlari ketempat yang bisa menghalau air hujan yang tengah turun deras. Ia gosok-gosok lengan tangannya secara bersilang, sekedar untuk menghalau hawa dingin yang mulai menusuk menembus pori-pori kulitnya. Tiba-tiba telepon selulernya bergetar di sekitar kantong bajunya. Ia lepas helmnya yang masih setia melindungi kepala empunya dan ia sangkilkan tali helm itu ke tangan kirinya. Dengan cepat ia raih handphone dibalik sakunya dan langsung menekan tombol hijau.
“Halo?”
“Halo, Nak. Kamu dimana?”
“Lagi neduh, Bu. Kehujanan. Ada apa?”
“Kamu bisa pulang cepat sekarang? Tadi Bi Iyem telepon, katanya Ayahmu jantungnya kumat lagi. Tidak ada yang bisa antar ke Rumah Sakit. Ibu masih banyak urusan, tidak bisa langsung pulang.”
“Iya, Bu. Aku usahain.”
“Tolong ya, Nak. Nanti ibu telepon lagi.”
Sambungan telepon itu terputus. Dia menjauhkan telepon genggamnya dari jangkauan telinganya. Dia pun menghela napas panjang, dibarengi dengan gerakan kepalanya yang mengarah ke langit. Mata itu sungguh sendu menatap langit yang masih menumpahkan segala Rahmatnya yang begitu deras ke bumi. Ia palingkan pandangannya dari langit dengan gumpalan awan hitam itu. Ia masukkan kembali handphonenya kedalam saku bajunya dan langsung memakai helmnya lagi.
“Jangan pergi! Tunggu hingga hujan ini reda” bisikku.
Seolah merespon bisikkanku, ia pejamkan matanya dan tersenyum. Tidak! Senyumnya saat ini bukanlah senyum yang biasa ia berikan! Bukan senyum lega atau senyum mengiyakan. Senyumnya kali ini seolah berkata “Maaf”. Ia buka kelopak matanya dan langsung menatap lurus. Bola matanya seolah menunjukkan kebulatan tekadnya. Tekad apa maksudnya? Lalu apa maksud dari senyumnya tadi? Tak perduli dengan pertanyaan dalam benakku, dia langsung menaiki motornya. Secepat kilat menyalakannya dan langsung melaju menghadang dinginnya tiupan angin dan derasnya hujan kala itu.
Jangan! Kumohon jangan pergi! Mengapa kau melakukan hal ini? Mengapa kau tak mau mendengarkan perkataanku? Apa demi lelaki tua itu? Lelaki yang kau sebut sebagai “Ayah”? “Ayah” yang hingga detik ini tak mengakuimu sebagai anak karena lelaki tua itu tak ada garis darah denganmu! Kumohon jangan lakukan hal ini! Atau demi wanita itu? Wanita yang selalu meninggalkanmu, selalu lepas tanggung jawab atas dirimu, selalu melimpahkan segala masalahnya pada dirimu? Wanita yang kau panggil dengan sebutan “Ibu” itu! Kumohon, jangan korbankan dirimu hanya demi orang seperti mereka! Kumohon… berhentilah!
TIN!! TIIIN!!!
BRAAK….!!
Dia dan tatapan tajamnya. Dia dan senyum tulusnya. Dia dan paras rupawannya. Dia dan aura keberadaannya. Dia dan segala tentang dirinya. Kini semua itu musnah dalam sekejap. Terkubur oleh cucuran darahnya yang terus mengalir. Lautan kemerahan bercampur rintik hujan menggenangi jalan besar itu. Kerumunan orang menatap iba.
Aku yang disini ikut menangisi dia. Meski tak seorang pun mendengarnya, meski tak seorang pun mengetahuinya. Aku yang disini adalah aku yang mengagumi dirinya. Dia yang hidup dalam cerita ini, dia yang bernapas dalam tulisan ini, dia yang tercipta dari benakku ini, dia yang hanya segelintir bagian dari khayalan dalam hidupku, dia yang tak pernah ada, tapi aku mengagumi keberadaan dia dalam diriku.


END

Selasa, 11 Juni 2013

Drama Sejarah : Detik-detik Menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

9 Agustus 1945 Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta, selaku Ketua dan Wakil PPKI, serta Dr. Radjiman, mantan ketua BPUPKI, menuju Saigon.
Soekarno            : "Kita mendapat undangan Jenderal Terauchi, Panglima Tentara Selatan, untuk membicarakan persiapan kemerdekaan"
Hatta                  : "Baiklah kita harus segera berangkat"
10 Agustus 1945 Sementara itu di Indonesia, Sutan Syahrir mendengar kabar lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada sekutu. Berita tersebut pun menyebar.
Syahrir                : "Jepang telah menyerah kepada sekutu!"
Shodanco           : "Benarkah? Artinya kita harus bersiap-siap untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia"
Jusuf Kunto       : "Dan menolak segala bentuk “hadiah” kemerdekaan dari Jepang!"
12 Agustus 1945 Di Dalath (Saigon) Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Dr. Radjiman diterima oleh Jenderal Terauchi dalam suatu upacara sederhana.
Terauchi             : "Selamat datang di Saigon! Maaf memanggil kalian datang jauh-jauh ke tempat ini"
Soekarno            : "Kami menghargai undangan Anda. Lalu apa yang hendak Anda bicarakan pada kami mengenai kemerdekaan Indonesia?"
Terauchi             : “Pemerintah agung di Tokyo telah memutuskan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan mengenai pelaksanaan kemerdekaan terserah kepada PPKI”
Soekarno            : “Kami ingin kemerdekaan secepatnya."
Terauchi             : “Kami mengusulkan Indonesia merdeka pada tanggal 24 Agustus”
14 Agustus 1945 Rombongan Soekarno-Hatta tiba kembali di Jakarta. Ketika Hatta tiba di rumah, Sutan Syahrir sudah menunggu di sana untuk membicarakan soal kemerdekaan.
Syahrir                : "Bagaimana hasil pertemuan di Dalat?
Hatta                  : "Jepang memutuskan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan mengenai pelaksanaan kemerdekaan terserah kepada PPKI”
Syahrir                : "Itu artinya keputusan pelaksanaan kemerdekaan ada di tangan PPKI?"
Hatta                  : “Soal kemerdekaan semata-mata di tangan kita, hanya penyelenggaraannya diserahkan kepada PPKI”
Syahrir                : “Jepang telah meminta damai kepada sekutu. Oleh karena itu, pernyataan kemerdekaan jangan dilakukan oleh PPKI, sebab Indonesia merdeka yang lahir semacam itu akan dicap oleh sekutu sebagai buatan Jepang. Sebaiknya Bung Karno sendiri yang menyatakannya sebagai pemimpin rakyat atas nama rakyat dengan pernyataan corong radio”
Hatta                  : “Saya setuju. Kemerdekaan selekas-lekasnya, tetapi saya tidak yakin bahwa Bung Karno mau mengambil langkah bertindak sendiri mengumumkan proklamasi”
Selanjutnya Hatta dan Syahrir pergi ke tempat Ir. Soekarno untuk membicarakan masalah tersebut.
Syahrir                : "Bung harus memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia secara sendiri"
Soekarno            : “Saya tidak berhak bertindak, hak itu adalah hak dan tugas Panitia Persiapan Kemerdekaan yang saya menjadi ketuanya. Alangkah janggalnya di mata orang, setelah kesempatan terbuka untuk mengucapkan Kemerdekaan Indonesia saya bertindak sendiri melewati Panitia Persiapan Kemerdekaan yang saya ketuai”
15 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Belanda. Sutan Syahrir mendengar kabar tersebut melalui BBC.
Soekarno-Hatta disertai Mr. Soebardjo pergi mencari informasi mengenai kekalahan Jepang ke Genseikanbu (Kantor Pemerintahan Militer), tetapi di sana tidak ada pejabat yang dapat ditemui karena mereka dipanggil ke Genshireibu (Markas Panglima Tertinggi Tentara)
Soekarno            : "Tempat ini sepi. Tidak ada orang yang dapat kita mintai informasi tentang kekalahan Jepang"
Hatta                  : "Ya, tidak ada pejabat yang dapat ditemui"
Soebardjo           : "Bagaimana kalau Bung-Bung sekalian pergi ke rumah Laksamana Muda Maeda Tadashi, Kepala Kantor Penghubung Angkatan Laut (Bukanfu), untuk mencari tahu tentang kebenaran kekalahan Jepang.
Atas usul Mr. Soebardjo, mereka pergi ke Jalan Imam Bonjol, rumah Maeda.
Maeda                : “Selamat atas keberhasilan pertemuan Anda sekalian di Dalat”
Soekarno            : “Terimakasih, tapi tujuan kami datang kemari bukan untuk hal itu. Kami ingin menanyakan benar-tidaknya berita yang menyiarkan bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu”
Maeda                : “Berita itu disiarkan oleh Sekutu dan saya belum memperoleh berita dari Tokyo, sebab itu saya menunggu instruksi dari Tokyo”
Soekarno            : "Betulkah? Kalau betul seperti itu kami mohon pamit. Terimakasih atas informasinya"
Sesudah meninggalkan tempat Laksamana Maeda, kedua tokoh nasionalis utama itu dapat memperoleh keyakinan bahwa Jepang sungguh-sungguh sudah menyerah.
Soekarno            : “Sepertinya benar adanya bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu.”
Hatta                  : “Kita harus mengadakan rapat PPKI secepatnya”
Soekarno            : “Mr. Soebardjo, saya menyerahi tugas kepada Anda untuk mengatur rapat PPKI besok”
Soebardjo           : “Baik. Rapat akan dilangsungkan di Kantor Dewan Sainyo Kaigi di Pejambon, besok“
Sementara itu, pada saat menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia, di Jakarta terdapat dua golongan yang berbeda dalam memandang tentang cara-cara memproklamasikan kemerdekaan yaitu Golongan Tua dan Golongan Muda. Golongan Tua diwakili oleh Soekarno-Hatta-Soebardjo dalam rencana memproklamasikan kemerdekaan memerlukan adanya rapat PPKI, sedangkan golongan Muda menghendaki untuk membebaskan diri dari PPKI yang dianggap bentukan Jepang.
Pukul 20.00 Golongan Muda mengadakan pertemuan di gedung Laboratorium Bakteriologi Jl. Pegangsaan Timur 16.
Sukarni               : "Kita tidak bisa berdiam diri seperti ini terus!"
Sayuti Melik       : "Ya, Benar! Kalau tidak, kita tidak akan bisa merdeka untuk selamanya!"
Syahrir                : "Kita harus menemui Bung Karno dan Bung Hatta untuk mendesak mereka agar mereka mau memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia!"
Pukul 22.00 Golongan Muda mendatangi Bung Karno di rumahnya di Jl. Pegangsaan Timur 56.
Sukarni               : "Kami menuntut agar malam ini juga Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia melalui corong radio!"
Soekarno            : “Tidak bisa seperti itu. Jepang sudah mengambil keputusan untuk memerdekakan Indonesia, dan esok pagi tanggal 16 Agustus PPKI akan bersidang membicarakan kemerdekaan”
Hatta                  : “Ya, kita tidak bisa mendahului Proklamasi Kemerderkaan sebelum sidang bersama PPKI. Kita harus membicarakannya besok bersama anggota PPKI lainnya"
Syahrir                : “Itu tidak perlu karena akan menggambarkan bahwa Indonesia merdeka buatan Jepang!”
Sayuti Melik       : “Sebab itu malam ini juga Bung Karno sebagai pemimpin rakyat harus memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dari genggaman Jepang”
Sukarni               : “Sebelum jam 22.00 penyataan itu mesti terjadi!”
Soekarno            : “Pendapat kita tidak dapat disesuaikan”
Hatta                  : “Sebaiknya untuk pertemuan kali ini kita bubarkan saja”
Para pemuda kemudian mengadakan pertemuan di Jl. Cikini 71, merundingkan langkah-langkah selanjutnya.
Sukarni               : "Sepertinya Bung Karno dan Bung Hatta mulai teracuni oleh Jepang"
Shodanco           : "Ya, mereka tidak berani mengambil keputusan sendiri dan segala hal menyangkut kemerdekaan harus melewati PPKI. Sedangkan PPKI sendiri adalah badan buatan Jepang!"
Sayuti Melik       : "Mereka adalah tokoh yang penting bagi kita. Tanpa mereka, Proklamasi kemerdekaan tidak akan terjadi!"
Shodanco                       : "Kita harus melakukan sesuatu agar Bung Karno dang Bung Hatta tidak semakin teracuni oleh Jepang"
Syahrir                : "Bawa Bung Karno dan Bung Hatta menyingkir ke luar kota di daerah tempat rakyta dan tentara (PETA) siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang timbul jika proklamasi sudah dinyatakan"
Sukarni               : "Baik. Subuh ini, rencana akan kita jalankan"
16 Agustus 1945 Kira-kira pukul 04.00, Para pemuda-pemuda menjemput Bung Karno dan Bung Hatta. Selanjutnya berangkatlah rombongan Bung Karno dan Bung Hatta disertai Ibu Fatmawati dibawa menuju Rengasdengklok.
Soekarno            : "Ada apa pemuda-pemuda datang kerumah saya subuh ini?"
Shodanco           : "Maaf Bung, Bung beserta isteri harus ikut dengan kami"
Soekarno            : "Akan pergi kemana?"
Subeno               : "Bung tak perlu tau. Mau atau tidak Bung harus ikut dengan kami. Kami akan memaksa Bung baik dengan kekerasan sekalipun"
Peristiwa dibawanya Soekarno-Hatta tersebut disampaikan Sudiro kepada Mr. Soebardjo.
Sudiro                : "Soekarno dan Hatta tidak berada di kota. Sepertinya mereka diculik!"
Soebardjo           : "Apa?! Benarkah begitu? Dimana mereka sekarang!"
Sudiro                : "Maaf, tapi saya tidak tahu. Sepertinya yang melakukan semua ini adalah para pemuda bawah tanah"
Soebardjo           : "Pemuda bawah tanah? Wikana! Ia pasti tau dimana Soekarno dan Hatta berada sekarang"
Sementara itu Soebardjo juga menghubungi Maeda untuk memperoleh dukungan dalam usaha pencarian Soekarno-Hatta.
Soebardjo           : "Saya mendapat kabar bahwa Soekarno dan Hatta diculik"
Maeda                : "Apa?! Bagaimana bisa? Siapa penculiknya? Apa anda tahu dimana mereka berada sekarang?"
Soebardjo           : "Tidak. Saya tidak tahu pasti siapa yang menyembunyikan mereka dan keberadaan mereka sekarang, tetapi saya meminta bantuan kepada anda jika mereka di sembunyikan oleh Angkatan Darat Jepang, maka tolong bebaskanlah mereka"
Maeda                : "Itu pasti akan saya lakukan"
Soebardjo           : "Saya meminta dukungan anda dalam usaha pencarian Soekarno-Hatta"
Maeda                : "Saya berjanji akan berusaha mencari sendiri dengan segala daya dimana Soekarno-Hatta berada"
Sementara itu di Rengasdengklok, saat Soekarno menemani isterinya Fatmawati menyulam bendera merah-putih, Ia diajak keluar untuk berbicara dengan Shodanco Singgih.
Shodanco           : "Mengapa Bung tak mau memproklamasikan Indonesia lebih cepat? Mengapa harus menunggu keputusan dari Jepang lebih dahulu?"
Soekarno            : "Bukan saya tak mau. Saya hanya tidak ingin semua terburu-buru. Memproklamasikan kemerdekaan tanpa persiapan akan menyebabkan pertumpahan darah lagi di Indonesia"
Shodanco           : "Tapi jika keadaannya sudah seperti ini bagaimana, Bung?"
Soekarno            : "Kalau memang semua sudah siap dan kita rencanakan. Saya bersedia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia saat saya sekembali ke Jakarta"
Shodanco           : "Artinya Bung akan langsung mempersiapkan segala proklamasi kemerdekaan jika Bung kembali ke Jakarta?"
Soekarno            : "Ya, karena semua butuh persiapan"
Shodanco Singgih langsung mengabari hal ini pada pemuda bawah tanah. Pada siang hari Soebardjo bertemu dengan Wikana di kantornya. Awalnya Wikana tetap merahasiakan tempat Soekarno-Hatta disembunyikan, tetapi setelah Jusuf Kunto yang diutus untuk mengabari bahwa Soekarno bersedia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia jika ia kembali ke Jakarta datang, akhirnya Wikana bersama-sama dengan Jusuf Kunto memberitahu Soebardjo bahwa kedua pemimpin itu diamankan diluar kota.
Soebardjo           : "Tolong anda beritahu dimana Bung Karno dan Bung Hatta sekarang"
Wikana               : "Saya tidak tahu dimana mereka"
Soebardjo           : "Tak mungkin anda tak tahu"
Jusuf Kunto       : "Ada apa ini?"
Soebardjo           : "Tolong beritahu saya dimana Bung Karno dan Bung Hatta sekarang"
Jusuf Kunto       : "Anda tak perlu khawatir, Bung Karno dan Bung Hatta aman bersama kami. Bung Karno berkata ia akan memproklamasikan Indonesia jika ia kembali ke Jakarta."
Wikana               : "Kami sengaja mengasingkan mereka ke luar kota agar mereka terhindar dari penangkapan Angkatan Darat Jepang"
Soebardjo           : "Kalian juga tak perlu khawatir mengenai keselamatan Bung Karno dan Bung Hatta jika mereka kembali, karena saya percaya dapat mengandalkan dukungan Angkatan Laut andaikata mereka menemui kesulitan dari Angkatan Darat Jepang.
Wikana               : "Baiklah kalau memang begitu adanya. Kami sedikit merasa tenang"
Soebardjo           : "Jadi maukah Anda sekalian memberitahu saya dimana Soekarno-Hatta berada? Saya ingin menjemput mereka"
Wikana               : "Baiklah, Jusuf Kunto yang akan mengantar anda ke tempat Soekarno-Hatta berada sekarang"
Pukul 16.00 Soebardjo akan berangkat ke arah timur dengan ditemani Sudiro dan diantar Jusuf Kunto.
Pukul 18.00 Akhirnya mereka sampai di Asrama PETA Rengasdengklok. Soebardjo bertemu dengan Sukarni dan selanjutnya dihadapkan pada seorang Mayor PETA, Subeno.
Subeno               : "Apa maksud kedatangan Anda kemari?"
Soebardjo           : "Maksud kedatangan saya kemari adalah untuk menjemput Bung Karno dan Bung Hatta kembali ke Jakarta untuk mempercepat proklamasi kemerdekaan"
Subeno               : "Apa jaminannya bahwa proklamasi kemerdekaan akan lebih cepat?"
Soebardjo           : "Proklamasi kemerdekaan paling lambat esoknya tengah hari. Apabila saya gagal, maka saya siap ditembak mati"
Subeno               : "Baiklah anda saya izinkan untuk bertemu mereka"
Soebardjo akhirnya dapat bertemu dengan Soekarno dan Hatta.
Soebardjo           : "Anda berdua harus segera kembali ke Jakarta. Dan anda harus bertemu dengan Laksamana Maeda"
Pukul 21.00 Rombongan sampai di Jakarta. Atas usul Soebardjo, Soekarno menelpon Maeda untuk meminjam rumahnya sebagai tempat rapat.
Soekarno            : "Terimakasih telah mengizinkan kami meminjam rumah anda untuk mengadakan rapat"
Maeda                : "Itu kewajiban saya yang mencintai Indonesia Merdeka"
21.30 Soekarno-Hatta berangkat ke rumah Mayor Jenderal Nishimura (Kepala Departemen Urusan Umum/Somubucho) disertai Maeda.
Soekarno            : "Kami ingin meneruskan rapat pagi tadi yang sempat tidak terlaksana mengenai persiapan kemerdekaan Indonesia"
Nishimura           : "Sekarang sudah lain keadaannya. Mulai pukul satu siang tadi kami tidak boleh lagi mengubah status quo. Pimpinan tentara Jepang sangat sedih bahwa apa yang dijanjikan terhadapn Indonesia Merdeka tidak dapat kami tolong menyelenggarakannya. Dari mulai tengah hari tadi tentara Jepang di Jawa tidak mempunyai kebebasan bergerak lagi. Ia semata-mata alat Sekutu dan harus menurut perintah Sekutu"
Soekarno            : "Pemerintah Tokyo sudah mengakui kemerdekaan Indonesia melalui perantaraan Jenderal Terauchi dan pelaksanaannya diserahkan kepada PPKI yang pada pukul 24.00 nanti akan memulai rapat di rumah Laksamana Maeda"
Nishimura           : "Apabila rapat itu berlangsung tadi pagi akan dibantu. Tetapi setelah tengah hari kami harus tunduk kepada pemerintah Sekutu dan tiap-tiap perubahan status quo tidak diperbolehkan. Jadi sekarang rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia terpaksa kami larang"
Perundingan dengan Nishimura menemui jalan buntu, akhirnya Soekarno-Hatta kembali kerumah Maeda dan memulai rapat PPKI. Rapat PPKI pun dimulai dan menghasilkan naskah Proklamasi.
Soekarno            : “Saya serta Bung Hatta dan Mr. Soebardjo mohon undur diri untuk menyusun naskah Proklamasi”
Soebardjo           : “Mohon untuk Sukarni dan Sayuti ikut dengan kami”
Sayuti Melik       : “Baik”
Diruangan tersebut, Soekarno-Hatta-Soebardjo menyusun naskah Proklamasi. Setelah selesai, Sayuti Melik yang mengetiknya. Selesai di ketik, hasil naskah Proklamasi dibacakan di hadapan para peserta rapat lainnya untuk disetujui. Namun, timbul masalah tentang siapa yang akan menandatangani naskah tersebut.
Syahrir                : “Siapa yang akan menandatangani naskah tersebut?”
Wikana               : “Bagaimana jika anda saja karena anda adalah pemimpin pemuda-pemuda Indonesia. Tanpa kegigihan anda dalam mendesak para golongan tua, mungkin hari ini tidak akan ada”
Syahrir                : “Saya tidak pantas untuk menandatanganinya”
Sukarni               : “Bagaimana jika Bung Karno dan Bung Hatta saja yang menandatangani atas nama Bangsa Indonesia?”
Shodanco           : “Usul yang bagus. Saya setuju. Apa semua setuju?”
Peserta Rapat     : “Ya, kami semua setuju”
Akhirnya naskah Proklamasi ditandatangani oleh Soekarno dan Hatta atas nama Bangsa Indonesia.

17 Agustus 1945 Pukul 10.00 Bung Karno didampingi Bung Hatta membacakan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di halaman rumah kediaman Bung Karno dihadiri oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia.