Dia itu sosok
yang mendekati sempurna. Cucu Adam yang elok. Hidung mancungnya, bibir
tipisnya, rambut hitam tebalnya. Tatap matanya bagaikan anak panah sang Eros.
Begitu lembut dan damai, namun tajam saat melihat lekat. Ia memiliki kharisma
rupawan yang terpancar. Tapi entah aura gelap apa yang telah menyelimuti raga
tersebut. Bagai terkungkung sendiri di dalam lubang yang begitu gelap dengan
dinding-dinding tanpa celah. Sendirian, tanpa cahaya, dan tanpa kehangatan.
“Bro, nomor ini
gimana caranya?” Tanya teman sebangkunya, mengendurkan kerutan dahi yang ia
bentuk saat menatap soal-soal berbau rumus itu.
“Yang mana?”
“Yang ini, nomor
3. Pake rumus apa ya?”
“Oh itu pake
rumus interferensi cahaya. Pertama cari dulu lamdanya. Di soal kan diketahui
gelombang sama waktunya” Jelasnya.
“Wah iya
kepikiran aja lo pake rumus itu! Thank’s ya!”
Ia kembali
tenggelam dalam soal-soal yang membelit pikirannya. Mengajak otaknya bergelut
dengan rumus-rumus itu lagi. Matanya bahkan hampir jarang berkedip. Melihatnya
yang seperti ini, membuat tatapanku tak kalah lekat dengan dirinya yang menatap
lembaran kertas-kertas itu. Seakan debaranku tak mau berhenti, jika saja aku di
anugrahi jantung oleh Tuhan.
Keseriusannya
terpecah saat suara nyaring bergema dari speaker kelas. Tanda bahwa sekolah
hari ini telah usai. Ia rapihkan buku-buku serta alat-alat tulisnya lalu ia
masukkan segala perkakas belajarnya ke dalam tas ranselnya.
“Eh, eh, ikut
futsal kagak lo?” Tanya temannya sambil menarik bahunya dari belakang. Membuat
langkahnya terhenti ketika sejengkal lagi keluar dari kelasnya itu.
“Enggak
kayaknya. Mau langsung balik gue” Jawabnya tak enak hati.
“Oh okedeh” Ucap
temannya dengan nada sedikit kecewa.
Dan ia pun
kembali melangkah, menuju dimana mesin berodaranya terparkir. Kuamati ia tengah
merogoh sakunya, mengeluarkan kunci serta kartu parkir. Lantas ia ambil helmnya
yang tergantung di spion motornya dan ia naiki motornya itu. Saat mulai
menstarter motornya, kuperhatikan ekspresinya tersirat keterkejutan. Kehadiran
seorang wanita yang tiba-tiba berdiri didepannya menjadi penyebab dari ekspresi
itu.
“Kenapa kamu
tidak ikut pergi dengan teman-temanmu saja?” Tanya wanita itu dengan ekspresi
yang sulit dijelaskan.
Penampilannya
agak lusuh serta wajahnya sedikit pucat. Kurasakan auranya begitu gelap.
Mungkin tak akan ada yang menyadari keberadaannya jika ia tak menampakkan diri
atau membuka mulutnya untuk berbicara.
Kulihat dia
mendelik dan mengabaikan wanita itu dengan pertanyaannya. Terbukti dengan
dirinya yang tetap menjalankan motornya yang sudah menyala.
“Jangan pergi!”
Cegat wanita itu. “Jangan lewati jalan itu! Aku memperingatkanmu jika kau masih
ingin tetap hidup” Ucapnya dengan senyum tipis.
“Jangan percaya dia. Hidup-matimu tidak
ditentukan olehnya” Bisikku.
Kulihat dia
tersenyum dan kembali mengendarai motornya. Meninggalkan wanita itu tanpa
berkata sepatah kata pun. Tak berapa jauh, ia melirik ke kaca spion dan wanita
tadi telah lenyap dari tempatnya berdiri.
Ia kembalikan
pandangannya ke depan, melanjutkan perjalanannya menuju tempat dimana ia sebut
“rumah”. Di tengah jalan besar yang cukup sepi, tiba-tiba seekor kucing putih
melintas dengan cepat. Dia pun sontak menarik rem dengan kedua tangannya.
Sempat terangkat sedikit ban belakang motornya akibat rem dadakan itu. Kucing
itu dan ban motornya tak bisa saling mengelak. Pertemuan keduanya membuat si
kucing putih itu terlindas, tergeletak di aspal dengan bermandikan darah. Bulu
yang semula berwarna putih cemerlang, kini terciprat warna merah tua
disana-sini. Kucing itu tak berdaya, ia seolah sekarat sambil merintih sakit.
Dia pun hendak turun dari motornya, mencoba mendekati kucing putih itu yang
nyawanya tak mungkin tertolong lagi.
“Jangan! Lanjutkan saja perjalanamu”
Bisikku mencegahnya.
Seolah
patuh, dia pun kembali melanjutkan perjalanannya dengan meninggalkan kucing
putih yang tergeletak di tengah jalan besar beraspal itu. Bukan, bukan kucing
putih yang tadi di jalan besar itu. Tak ada apapun disana. Bahkan setetes darah
dari kucing itu pun tak terlihat. Tanpa dia tahu, sebuah papan reklame di jalan
itu jatuh tepat dimana ia meninggalkan tempat itu.
Jalanan
saat itu tak begitu ramai. Langit kemerahan perlahan menjadi gelap. Awan-awan
saling bergumul diselingi dengan gemuruh langit-langit kegelapan. Titik demi
titik penyokong kehidupan makhluk bumi mulai turun. Seakan mengajak
teman-temannya untuk ikut melesat turun ke bumi bersama-sama, dalam waktu
sekejap pun mereka datang berama-ramai. Membuat para makhluk yang disebut
manusia itu kocar-kacir mencari tempat meneduh.
Dia
pun ikut basah kuyup. Seragam SMA-nya tak lagi sekaku tadi. Bahkan bau asap
jalanan yang melekat kuat di seragam itu telah luluh bersamaan diguyurnya air
hujan. Ia meminggirkan motornya dan memarkirkannya di depan sebuah toko.
Cepat-cepat ia turun dari motornya dan berlari ketempat yang bisa menghalau air
hujan yang tengah turun deras. Ia gosok-gosok lengan tangannya secara
bersilang, sekedar untuk menghalau hawa dingin yang mulai menusuk menembus
pori-pori kulitnya. Tiba-tiba telepon selulernya bergetar di sekitar kantong
bajunya. Ia lepas helmnya yang masih setia melindungi kepala empunya dan ia
sangkilkan tali helm itu ke tangan kirinya. Dengan cepat ia raih handphone
dibalik sakunya dan langsung menekan tombol hijau.
“Halo?”
“Halo,
Nak. Kamu dimana?”
“Lagi
neduh, Bu. Kehujanan. Ada apa?”
“Kamu
bisa pulang cepat sekarang? Tadi Bi Iyem telepon, katanya Ayahmu jantungnya
kumat lagi. Tidak ada yang bisa antar ke Rumah Sakit. Ibu masih banyak urusan, tidak
bisa langsung pulang.”
“Iya,
Bu. Aku usahain.”
“Tolong
ya, Nak. Nanti ibu telepon lagi.”
Sambungan
telepon itu terputus. Dia menjauhkan telepon genggamnya dari jangkauan
telinganya. Dia pun menghela napas panjang, dibarengi dengan gerakan kepalanya
yang mengarah ke langit. Mata itu sungguh sendu menatap langit yang masih
menumpahkan segala Rahmatnya yang begitu deras ke bumi. Ia palingkan
pandangannya dari langit dengan gumpalan awan hitam itu. Ia masukkan kembali
handphonenya kedalam saku bajunya dan langsung memakai helmnya lagi.
“Jangan pergi! Tunggu hingga hujan ini reda”
bisikku.
Seolah
merespon bisikkanku, ia pejamkan matanya dan tersenyum. Tidak! Senyumnya saat
ini bukanlah senyum yang biasa ia berikan! Bukan senyum lega atau senyum
mengiyakan. Senyumnya kali ini seolah berkata “Maaf”. Ia buka kelopak matanya
dan langsung menatap lurus. Bola matanya seolah menunjukkan kebulatan tekadnya.
Tekad apa maksudnya? Lalu apa maksud dari senyumnya tadi? Tak perduli dengan
pertanyaan dalam benakku, dia langsung menaiki motornya. Secepat kilat
menyalakannya dan langsung melaju menghadang dinginnya tiupan angin dan
derasnya hujan kala itu.
Jangan!
Kumohon jangan pergi! Mengapa kau melakukan hal ini? Mengapa kau tak mau
mendengarkan perkataanku? Apa demi lelaki tua itu? Lelaki yang kau sebut
sebagai “Ayah”? “Ayah” yang hingga detik ini tak mengakuimu sebagai anak karena
lelaki tua itu tak ada garis darah denganmu! Kumohon jangan lakukan hal ini!
Atau demi wanita itu? Wanita yang selalu meninggalkanmu, selalu lepas tanggung
jawab atas dirimu, selalu melimpahkan segala masalahnya pada dirimu? Wanita
yang kau panggil dengan sebutan “Ibu” itu! Kumohon, jangan korbankan dirimu
hanya demi orang seperti mereka! Kumohon… berhentilah!
TIN!!
TIIIN!!!
BRAAK….!!
Dia
dan tatapan tajamnya. Dia dan senyum tulusnya. Dia dan paras rupawannya. Dia
dan aura keberadaannya. Dia dan segala tentang dirinya. Kini semua itu musnah
dalam sekejap. Terkubur oleh cucuran darahnya yang terus mengalir. Lautan
kemerahan bercampur rintik hujan menggenangi jalan besar itu. Kerumunan orang
menatap iba.
Aku
yang disini ikut menangisi dia. Meski tak seorang pun mendengarnya, meski tak
seorang pun mengetahuinya. Aku yang disini adalah aku yang mengagumi dirinya.
Dia yang hidup dalam cerita ini, dia yang bernapas dalam tulisan ini, dia yang
tercipta dari benakku ini, dia yang hanya segelintir bagian dari khayalan dalam
hidupku, dia yang tak pernah ada, tapi aku mengagumi keberadaan dia dalam
diriku.
END