Rabu, 17 Juli 2013

DIA

Dia itu sosok yang mendekati sempurna. Cucu Adam yang elok. Hidung mancungnya, bibir tipisnya, rambut hitam tebalnya. Tatap matanya bagaikan anak panah sang Eros. Begitu lembut dan damai, namun tajam saat melihat lekat. Ia memiliki kharisma rupawan yang terpancar. Tapi entah aura gelap apa yang telah menyelimuti raga tersebut. Bagai terkungkung sendiri di dalam lubang yang begitu gelap dengan dinding-dinding tanpa celah. Sendirian, tanpa cahaya, dan tanpa kehangatan.
“Bro, nomor ini gimana caranya?” Tanya teman sebangkunya, mengendurkan kerutan dahi yang ia bentuk saat menatap soal-soal berbau rumus itu.
“Yang mana?”
“Yang ini, nomor 3. Pake rumus apa ya?”
“Oh itu pake rumus interferensi cahaya. Pertama cari dulu lamdanya. Di soal kan diketahui gelombang sama waktunya” Jelasnya.
“Wah iya kepikiran aja lo pake rumus itu! Thank’s ya!”
Ia kembali tenggelam dalam soal-soal yang membelit pikirannya. Mengajak otaknya bergelut dengan rumus-rumus itu lagi. Matanya bahkan hampir jarang berkedip. Melihatnya yang seperti ini, membuat tatapanku tak kalah lekat dengan dirinya yang menatap lembaran kertas-kertas itu. Seakan debaranku tak mau berhenti, jika saja aku di anugrahi jantung oleh Tuhan.
Keseriusannya terpecah saat suara nyaring bergema dari speaker kelas. Tanda bahwa sekolah hari ini telah usai. Ia rapihkan buku-buku serta alat-alat tulisnya lalu ia masukkan segala perkakas belajarnya ke dalam tas ranselnya.
“Eh, eh, ikut futsal kagak lo?” Tanya temannya sambil menarik bahunya dari belakang. Membuat langkahnya terhenti ketika sejengkal lagi keluar dari kelasnya itu.
“Enggak kayaknya. Mau langsung balik gue” Jawabnya tak enak hati.
“Oh okedeh” Ucap temannya dengan nada sedikit kecewa.
Dan ia pun kembali melangkah, menuju dimana mesin berodaranya terparkir. Kuamati ia tengah merogoh sakunya, mengeluarkan kunci serta kartu parkir. Lantas ia ambil helmnya yang tergantung di spion motornya dan ia naiki motornya itu. Saat mulai menstarter motornya, kuperhatikan ekspresinya tersirat keterkejutan. Kehadiran seorang wanita yang tiba-tiba berdiri didepannya menjadi penyebab dari ekspresi itu.
“Kenapa kamu tidak ikut pergi dengan teman-temanmu saja?” Tanya wanita itu dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
Penampilannya agak lusuh serta wajahnya sedikit pucat. Kurasakan auranya begitu gelap. Mungkin tak akan ada yang menyadari keberadaannya jika ia tak menampakkan diri atau membuka mulutnya untuk berbicara.
Kulihat dia mendelik dan mengabaikan wanita itu dengan pertanyaannya. Terbukti dengan dirinya yang tetap menjalankan motornya yang sudah menyala.
“Jangan pergi!” Cegat wanita itu. “Jangan lewati jalan itu! Aku memperingatkanmu jika kau masih ingin tetap hidup” Ucapnya dengan senyum tipis.
“Jangan percaya dia. Hidup-matimu tidak ditentukan olehnya” Bisikku.
Kulihat dia tersenyum dan kembali mengendarai motornya. Meninggalkan wanita itu tanpa berkata sepatah kata pun. Tak berapa jauh, ia melirik ke kaca spion dan wanita tadi telah lenyap dari tempatnya berdiri.
Ia kembalikan pandangannya ke depan, melanjutkan perjalanannya menuju tempat dimana ia sebut “rumah”. Di tengah jalan besar yang cukup sepi, tiba-tiba seekor kucing putih melintas dengan cepat. Dia pun sontak menarik rem dengan kedua tangannya. Sempat terangkat sedikit ban belakang motornya akibat rem dadakan itu. Kucing itu dan ban motornya tak bisa saling mengelak. Pertemuan keduanya membuat si kucing putih itu terlindas, tergeletak di aspal dengan bermandikan darah. Bulu yang semula berwarna putih cemerlang, kini terciprat warna merah tua disana-sini. Kucing itu tak berdaya, ia seolah sekarat sambil merintih sakit. Dia pun hendak turun dari motornya, mencoba mendekati kucing putih itu yang nyawanya tak mungkin tertolong lagi.
“Jangan! Lanjutkan saja perjalanamu” Bisikku mencegahnya.
Seolah patuh, dia pun kembali melanjutkan perjalanannya dengan meninggalkan kucing putih yang tergeletak di tengah jalan besar beraspal itu. Bukan, bukan kucing putih yang tadi di jalan besar itu. Tak ada apapun disana. Bahkan setetes darah dari kucing itu pun tak terlihat. Tanpa dia tahu, sebuah papan reklame di jalan itu jatuh tepat dimana ia meninggalkan tempat itu.
Jalanan saat itu tak begitu ramai. Langit kemerahan perlahan menjadi gelap. Awan-awan saling bergumul diselingi dengan gemuruh langit-langit kegelapan. Titik demi titik penyokong kehidupan makhluk bumi mulai turun. Seakan mengajak teman-temannya untuk ikut melesat turun ke bumi bersama-sama, dalam waktu sekejap pun mereka datang berama-ramai. Membuat para makhluk yang disebut manusia itu kocar-kacir mencari tempat meneduh.
Dia pun ikut basah kuyup. Seragam SMA-nya tak lagi sekaku tadi. Bahkan bau asap jalanan yang melekat kuat di seragam itu telah luluh bersamaan diguyurnya air hujan. Ia meminggirkan motornya dan memarkirkannya di depan sebuah toko. Cepat-cepat ia turun dari motornya dan berlari ketempat yang bisa menghalau air hujan yang tengah turun deras. Ia gosok-gosok lengan tangannya secara bersilang, sekedar untuk menghalau hawa dingin yang mulai menusuk menembus pori-pori kulitnya. Tiba-tiba telepon selulernya bergetar di sekitar kantong bajunya. Ia lepas helmnya yang masih setia melindungi kepala empunya dan ia sangkilkan tali helm itu ke tangan kirinya. Dengan cepat ia raih handphone dibalik sakunya dan langsung menekan tombol hijau.
“Halo?”
“Halo, Nak. Kamu dimana?”
“Lagi neduh, Bu. Kehujanan. Ada apa?”
“Kamu bisa pulang cepat sekarang? Tadi Bi Iyem telepon, katanya Ayahmu jantungnya kumat lagi. Tidak ada yang bisa antar ke Rumah Sakit. Ibu masih banyak urusan, tidak bisa langsung pulang.”
“Iya, Bu. Aku usahain.”
“Tolong ya, Nak. Nanti ibu telepon lagi.”
Sambungan telepon itu terputus. Dia menjauhkan telepon genggamnya dari jangkauan telinganya. Dia pun menghela napas panjang, dibarengi dengan gerakan kepalanya yang mengarah ke langit. Mata itu sungguh sendu menatap langit yang masih menumpahkan segala Rahmatnya yang begitu deras ke bumi. Ia palingkan pandangannya dari langit dengan gumpalan awan hitam itu. Ia masukkan kembali handphonenya kedalam saku bajunya dan langsung memakai helmnya lagi.
“Jangan pergi! Tunggu hingga hujan ini reda” bisikku.
Seolah merespon bisikkanku, ia pejamkan matanya dan tersenyum. Tidak! Senyumnya saat ini bukanlah senyum yang biasa ia berikan! Bukan senyum lega atau senyum mengiyakan. Senyumnya kali ini seolah berkata “Maaf”. Ia buka kelopak matanya dan langsung menatap lurus. Bola matanya seolah menunjukkan kebulatan tekadnya. Tekad apa maksudnya? Lalu apa maksud dari senyumnya tadi? Tak perduli dengan pertanyaan dalam benakku, dia langsung menaiki motornya. Secepat kilat menyalakannya dan langsung melaju menghadang dinginnya tiupan angin dan derasnya hujan kala itu.
Jangan! Kumohon jangan pergi! Mengapa kau melakukan hal ini? Mengapa kau tak mau mendengarkan perkataanku? Apa demi lelaki tua itu? Lelaki yang kau sebut sebagai “Ayah”? “Ayah” yang hingga detik ini tak mengakuimu sebagai anak karena lelaki tua itu tak ada garis darah denganmu! Kumohon jangan lakukan hal ini! Atau demi wanita itu? Wanita yang selalu meninggalkanmu, selalu lepas tanggung jawab atas dirimu, selalu melimpahkan segala masalahnya pada dirimu? Wanita yang kau panggil dengan sebutan “Ibu” itu! Kumohon, jangan korbankan dirimu hanya demi orang seperti mereka! Kumohon… berhentilah!
TIN!! TIIIN!!!
BRAAK….!!
Dia dan tatapan tajamnya. Dia dan senyum tulusnya. Dia dan paras rupawannya. Dia dan aura keberadaannya. Dia dan segala tentang dirinya. Kini semua itu musnah dalam sekejap. Terkubur oleh cucuran darahnya yang terus mengalir. Lautan kemerahan bercampur rintik hujan menggenangi jalan besar itu. Kerumunan orang menatap iba.
Aku yang disini ikut menangisi dia. Meski tak seorang pun mendengarnya, meski tak seorang pun mengetahuinya. Aku yang disini adalah aku yang mengagumi dirinya. Dia yang hidup dalam cerita ini, dia yang bernapas dalam tulisan ini, dia yang tercipta dari benakku ini, dia yang hanya segelintir bagian dari khayalan dalam hidupku, dia yang tak pernah ada, tapi aku mengagumi keberadaan dia dalam diriku.


END