Selasa, 21 Agustus 2012

Jalanan Saat Malam


Saya agak kesal siang hari ini, tak pergi kemana-mana, tak melakukan hal apa-apa, hanya terkekang oleh tembok-tembok ini.
Saya putuskan untuk pergi sekedar mencari keisengan dan menghabiskan waktu hingga larut malam. Tapi hanya sendiri.

Cukup malam ternyata dan terlanjur merasa ingin sendiri, maka saya lewati malam ini sendirian dengan berjalan kaki.
Namun, sudah berapa ojek yang menepi? Salah kah saya kalau saya hanya sekedar ingin jalan kaki? Bukan saya pelit, bukan juga saya tak punya duit.
Hanya ingin merasa sendiri, mencoba menikmati hal-hal yang menurut saya baru dan selalu luput dari mata ini ketika bersama yang lain.

Langit tidak begitu ramah malam ini. Tak ada bintang, tak ada bulan. Biru kelam. Hanya lampu-lampu jalan dengan sinarnya yang temaram. Atau derum suara kendaraan yg lewat begitu saja.
Pohon-pohon besar di jalan seperti tertidur lelap. Terbiasa dengan sekitarnya yang bising oleh mesin.
Yang saya sadari, trotoar-trotoar jalan dewasa kini hanya sekedar hiasan kota. Mereka begitu tua dan buruk. Kadang tak jarang saya temui bata-batanya berhamburan atau hilang-hilangan. Dan debu-debu serta dedaunan kering tertabur diatasnya.
Saat lampu jalan mulai tak ada, hanya beberapa lampu rumah warga menyala, sempurna lah gelap malam ini.
Saya yang berjalan sekarang hanya berharap ada kendaran lewat dengan lampu depannya. Setidaknya agar saya tak terjeblos oleh aspal-aspal bopeng ini.
Begitu sunyi, begitu sepi. Seolah rumah-rumah, pagar-pagar, tanaman-tanaman mengikuti tuannya beristirahat malam ini.
Saya hanya berjalan pelan-pelan mengikuti langkah kaki ini.
Jalanan dan rumah-rumah begitu tenang, sangat tenang.
Saya mengamat-amati benda-benda mati itu, mereka bagaikan tidur dan tak sadar bahwa saya memperhatikannya. Angin berhembus lembut membelai-belai dedaunan. Yang menguning jatuh dengan tenangnya.
Saya tertunduk mengamati aspal-aspal ini. Cahaya yang agak redup membuat aspal-aspal ini seperti berkelap-kelip. Saya pun terheran-heran, mengapa jalanan-jalanan kotor, tua dan kasar ini bisa berkilauan. Aspal yang berwarna gelap, dan ada kelap kelip di atasnya. Seolah saya sedang menapak diatas langit hitam yang penuh bintang-bintang kecil. Bermain-main dengan bayangan saya diatas langit kegelapan namun berkelip itu.
Malam ini saya tak begitu merasa takut, tak begitu merasa kesepian. Dibalik hal-hal mistis atau pun ketakutan-ketakutan lain karena sendirian, ada hal yang bisa dirasai. Hal yang terkadang luput bahkan tak pernah disadari sekalipun. Dan untuk saya itu adalah hal yang indah. Saya tak merasa harus dikasihani, saya menikmati kesendirian saya dengan jalanan saat malam.

Jumat, 08 Juni 2012

PSYCHO (part 2)


Setelah kejadian itu, sekolah ini tampak seperti sedia kala. Meskipun begitu, aku tetap sedikit merasa kehilangan. Sifa adalah satu-satunya anak yang menganggapku teman. Yah meskipun aku sendiri tak percaya akan teman. Teman itu hanya semu. Ikatan yang palsu. Teman itu hanya sebuah nama ikatan. Tak berarti telah menjadi bagian dari hidup manusia. Dan bagiku tak berpengaruh apapun dalam hidupku. Tapi aku tak keberatan jika Sifa menganggapku teman. Hubungan kami tidak akan berkembang lebih dalam karena ia sudah bahagia di atas sana.
Manusia memang makhluk sosial yang harus berinteraksi dengan sesamanya. Tapi bukan berarti kau harus ketergantungan. Aku tak suka bergantung pada manusia. Kuakui, Aku memang membutuhkan mereka dalam hidup ini, tapi aku tak mau menyebutnya bergantung. Lebih tepatnya "memanfaatkan". Jika ingin terus bertahan hidup, kau harus pintar-pintar memanfaatkan sekitarmu. Maka dari itu aku menutup segala bentuk interaksi. Hubungan ku dengan orang lain hanya kubuat semu. Tak ada ikatan dan tak akan terikat. Aku hanya mengikat diriku sendiri.
Guru ku saat ini tengah menerangkan tentang takdir. Ia bilang takdir dan nasib itu sama dan bisa diubah oleh manusia. Aku tak suka pendapatnya. Nasib manusia memang bisa diubah oleh manusia itu sendiri. Tapi takdir, sudah tercatat bahkan sebelum kita lahir. Takdir hidup kita mulai dari kita lahir hingga kita mati. Menurutku itu lucu. Manusia diciptakan tapi segala hal yang akan ia lakukan sudah tertulis rapih dalam skenario hidupnya. Lalu ada teman ku yang bertanya kalau ada orang yang ingin bunuh diri, apa itu termasuk takdirnya? Menurutku itu berbeda hal. Itu adalah pilihannya antara meneruskan takdir hidupnya atau memutus takdir hidupnya. Misalnya saja manusia itu dapat hidup 50 tahun lagi, namun ia memilih untuk bunuh diri. Itu sama saja memutus takdirnya. Dan ternyata Tuhan tak suka manusia yang keluar dari permainannya. Sehingga manusia yang memilih untuk memutus takdir di beri hukuman lebih berat dibanding manusia bejat dan keji selama hidupnya. Lucu bukan? Tapi tentu saja aku hanya diam dan tak ada niatan untuk menjawab pertanyaan temanku itu. Aku yang mulai bosan memutuskan untuk keluar kelas sekedar izin untuk ke toilet.
Saat tengah berjalan menuju kamar mandi, aku mendengar suara tangisan perempuan. Perlahan aku berjalan menuju suara tangisan itu. Aku melihat dari balik tembok dan kulihat seorang siswi tengah menangis sendirian diantara celah antar gedung sekolah yang gelap dan sempit. Pakaiannya begitu kotor dan berantakan. Aku memang tak dapat melihat wajahnya dengan jelas, namun perempuan itu terlihat sangat kacau. Sambil terisak, perempuan itu merogoh tas nya mencari sesuatu. Dan benda itu adalah sebilah pisau. Ia menggenggam pisau itu dengan kedua tangannya dan mengarahkan pisau itu ke perutnya.
"Apa yang akan kau lakukan?"
Mendengar pertanyaanku, perempuan itu tersentak dan berbalik. Kini ia balik mengacungkan pisau yang ia genggam ke arahku.
"Si-siapa lo? Jangan campuri urusan gue! Pergi!"
"Apa yang akan kau lakukan?"
"Bukan urusan lo! Pergi! Kalo lo gak pergi, gue akan ngebunuh lo!" Ancam perempuan itu.
Aku berjalan mendekati perempuan itu. Perempuan itu tampak sangat ketakutan. Ia menjaga jarak dengan ku, namun tempat ini begitu sempit. Perempuan itu tak bisa pergi menjauhi ku. Aku pun menggenggam mata pisau itu. Ku genggam dengan kuat hingga tangan ku meneteskan darah. Aku menarik pisau itu dari tangan perempuan itu dan perempuan itu pun melepaskannya karena ketakutan. Tiba-tiba perempuan itu terjatuh berlutut didepanku. Ia kembali menangis.
"Gue mohon.. Bunuh gue! Bunuh gue sekarang! Gue gak mau hidup lagi!"
"Apa alasannya?" Tanya ku datar.
"Gue.. Gue udah gak pantes hidup lagi. Gue udah kotor! Gue udah dinodai! Gue gak mau hidup lagi!"
"Siapa yang membuatmu seperti ini?'
Akhirnya Perempuan itu pun menceritakan semuanya sambil menangis didepan ku. Perempuan itu bernama Sisi. Ia adalah murid yang se angkatan denganku. Ia hendak bunuh diri karena telah kehilangan kehormatannya. Yang melakukannya adalah wali kelasnya sendiri. Cih. Betapa nista nya makhluk yang bernama manusia. Manusia itu bukanlah makhluk yang memiliki jiwa. Ia hanya tulang berbalut daging yang di gerakkan oleh ego dan hawa nafsu. Benar-benar menjijikan.
"Kau minta agar aku membunuhmu?" Tanya ku yang membuat tangisnya berhenti.
"Ya.. Kalo lo gak mau, gue akan bunuh diri sendiri"
"Apa kau tak akan menyesal?"
"Gak! Gue malah nyesel karena gue lahir dan hidup cuma untuk hal ini. Mending gue mati sekalian!"
"Aku akan membantu mu. Aku tak akan membiarkan mu untuk bunuh diri. Jika kau bunuh diri, sama saja kau memutus takdirmu sendiri dan perbuatanmu akan sia-sia karena kau akan masuk neraka"
"Terus gue harus gimana? Gue udah gak mau hidup lagi! Gue gak mau hidup dengan keadaan kayak gini!"
"Aku akan membantu mu" ucapku sambil tersenyum.
Aku mengambil sapu tangan dari saku ku dan membungkus gagang pisau itu. Dengan cepat aku menusukkan pisau ke perut Sisi. Sisi pun langsung jatuh terkapar. Sapu tangan ku yang bersimbah darah kulipat lagi dan ku simpan. Tanganku yang terkena cucuran darah ku jilati di setiap sisinya.
Aku berjalan menuju ruang guru. Di ruang guru tampak hanya beberapa orang guru yang sangat sibuk. Ku rasa mereka bahkan tak menyadari keberadaanku. Aku menuju ke bagian belakang dari ruangan itu dan menemukan meja Pak Deni. Ku letakkan sapu tangan ku diatas meja itu dan bergegas pergi.
Saat sore harinya, aku meletakkan sebuah kotak dan surat di kursi mobil Pak Deni. Setelah itu aku bersembunyi ditempat kursi mobil belakang Pak Deni. Saat Ia hendak menstarter mobilnya, ku lihat Pak Deni menyadari kotak besar dan surat ku.
"Kado? Gede banget.. Dari siapa nih? Ada suratnya"
Surat itu kutulis menggunakan darah Sisi yang bertuliskan "Karena mu, aku mati. Maka sekarang kau yang harus mati!"
"Apaan sih? Paling kerjaan orang iseng!"
Sambil menyetir, ia membuka kotak itu. Dalam kotak itu adalah penggalan kepala Sisi yang tak bermata. Separuh wajahnya adalah tengkorak. Penggalan kepala itu berlumur darah. Pak Deni menjerit kaget dan melempar kotak itu. Hal itu membuat mobil Pak Deni tak terkendali sehingga ia menabrak sebuah pohon besar. Kepalanya berbenturan keras dengan setir mobil. Ia tak sadarkan diri. Aku keluar dari persembunyianku sambil menggotong sekantung plastik hitam besar. Aku duduk di kursi belakang dan ku letakkan plastik besar itu disampingku.
Tak berapa lama Pak Deni sadar. Ia merasa tangan kirinya memegang tangan seseorang. Saat ia melihat ke sebelahnya, ternyata potongan tubuh mayat menggunakan seragam sisiwi SMU tanpa kepala, kaki dan tangan kiri yang terduduk di kursi sebelahnya. Ia menjerit histeris. Berusaha membuka pintu mobilnya yang jelas sejak tadi ku kunci semua. Saat ia hendak menengok ke belakang, tepat di depan mukanya tergantung penggalan kepala yang di dalam kotak tersebut. Ia menjerit seperti orang gila.
"Tolong! Tolong keluarkan aku dari sini! Toloongg!"
"Kau tak akan bisa keluar" ucap ku
Ia terkejut ada suara orang. Perlahan ia menengok ke belakangnya dan ia mendapati sosok ku yang sedang duduk anggun sambil menggenggam sebuah bola mata dan melahapnya. Ia kembali menjerit ketakutan.
"Toloong! Tolong keluarkan aku dari sini! Toloong!!" Teriaknya sambil memukul-mukul kaca jendela.
"Kau tahu kepala siapa itu? Kau tahu tubuh siapa yang ada di sampingmu? Kau tahu? Itu adalah mayat dari murid yang kau lecehkan. Ia mati karena mu. Sekarang giliran kau!"
Aku lansgung merentangkan tali tambang dan mengalungi tali tambang itu ke leher pak Deni. Ku jerat dan ku ikat pada kursi mobilnya. Tangannya yang hendak menahan jeratan tali itu langsung ku tarik ke belakang dan ku ikat dengan kencang. Tak lupa ku bekap mulutnya yang sangat mengganggu itu. Jeritannya tak semerdu korban-korbanku sebelumnya. Malah membuat telinga ku sakit. Mungkin karena kami berada di tempat yang sempit seperti mobil ini.  Aku yang kesal akibat jeritannya yang membuat telingaku sakit, kini benar-benar bernafsu untuk menyiksanya. Aku bangkit. Melempar tubuh mayat Sisi ke pangkuan Pak Deni. Pak Deni membelalakkan matanya. Tubuhnya sengaja diguncang-guncang agar ikatannya lepas. Tapi aku tak bodoh. Tak mungkin ikatan itu dapat lepas dengan mudah. Aku duduk di kursi sebelah Pak Deni. Mengeluarkan sebilah pisau dan sebuah kapak besar. Cocok untuk memenggal apa pun.
"Kau tahu bahwa kau orang jahat?"
Aku merobek lengan baju kiri Pak deni hingga menampilkan lengannya.
"Kau tahu bahwa orang jahat harus dihukum?"
Aku langsung menancapkan pisau ku ke lengan Pak Deni. Ku tancapkan hingga pisau itu menembus daging lengannya. Ia berteriak kesakitan. Namun teriakannya hanya suara geraman kecil akibat mulutnya yang dibungkam. Ku rasa suara seperti ini juga lumayan merdu. Wajah Pak Deni sangat ketakutan dan menahan sakit. Seolah-olah ia baru saja melihat malaikat penjemput nyawa dengan sabit besar menghampirinya.
"Dan inilah hukuman untukmu. Nikmatilah"
Ku koyak daging lengan Pak Deni. Ia berteriak-teriak dibarengi dengan darah segar mengucur deras dari lengannya. Dagingnya yang bergelayutan pun ku kikis dan ku iris-iris. Seperti aku mengiris daging sapi. Tak perduli Pak Deni terus-menerus menjerit hingga menangis. Ia bergerak kesana kemari. Mencari jalan untuk lepas dari siksaan ini. Lengan itu hanya tersisa tulang. Lengan dagingnya sudah ku kuliti.
Aku pun beralih ke paha nya. Ku robek celana bagian paha. Sama seperti tadi. Aku langsung menancapkan pisau ku pada pahanya. Membuatnya menjerit lebih keras dan meronta-ronta. Nafasnya memburu. Kesakitan-kesakitan tergambar jelas di wajahnya. Ku cabut pisau ku. Tanpa basa-basi, aku langsung menguliti paha itu hingga menampakkan jelas daging dan darahnya. Aku meraih sesuatu dari tas ku dan kudapati sebotol garam. Garam itu langsung ku taburkan di atas daging itu. Pak Deni menjerit pedih. Ia sampai menangis dan meronta-ronta kasar. Aku tak puas hanya menguliti daging lengan dan pahanya saja. Aku mengambil pisau lain di tas ku yang ukurannya sedikit lebih kecil. Kini sasaran ku adalah telinganya. Ku iris telinganya sedikit demi sedikit sehingga menghasilkan sensasi kengiluan. Kepala Pak Deni tak bisa diam. Terus bergerak kesana kemari. Membuatku semaki kesal. Ku ikat kan kawat yang mengitari pipi dan hidungnya ke jok mobilnya. Ku ikat dengan sangat kencang hingga kawat kecil itu menembus sedikit kulit wajahnya. Menyebabkan darah-darah segar mengalir. Lalu kulanjutkan kembali mengiris sedikit demi sedikit kuping kirinya. Sengaja tak ku iris sampai benar-benar terpotong. Membiarkan daun telinga pak Deni menggantung dengan darah-darahnya. Ia pun semakin ketakutan. Rontaan dan jeritan dibalik bekaman mulut itu terganti dengan nafasnya yang tersengal-sengal. Tanpa basa-basi, aku langsung menarik dengan keras dan cepat daun telinga Pak Deni. Membuat Pak Deni berteriak sangat kencang. Ia lalu menangis.
"Kau menangis Pak? Aku jadi ingin sekali membuat air mata itu berwarna. Warna yang paling aku sukai. Warna merah" ucapku sambil langsung menancapkan pisau yang ku genggam ke bola mata Pak Deni.
Ia menjerit. Meronta kesana-kemari. Kemudian menangis lagi. Tapi yang mengalir di mata kirinya bukanlah air mata. Melainkan darah. Darah segar. Mengalir begitu deras.
"Jangan menangis Pak. Tangisan mu sudah tak berharga lagi. Jika kau ingin menangis, harusnya kau lakukan sebelum kau melakukan hal bejat itu." Ucapku sambil mengusap darah yang mengalir di pipi Pak Deni. Kujilat darah itu ditanganku.
"Kau tahu Pak? Aku masih terlalu baik padamu. Jika kau bukan guru ku, aku pasti akan melakukan hal lebih kejam lagi. Membuatmu hingga meminta agar aku cepat-cepat membunuhmu."
"Baiklah aku tak mau berlama-lama lagi. Tolong ucapkan salamku pada Sisi, Pak Deni"
Aku langsung bangkit sambil menggenggam sebilah kapak. Aku menurunkan kursi jok Pak Deni kebelakang hingga Pak Deni setengah terbaring diatas kursinya. Aku mengambil langkah kaki kiri ku melangkahi Pak Deni, hingga posisi ku berdiri diatasnya. Jika tidak begini, akan sulit mengayunkan sebuah kapak ini.
"Selamat tinggal, Pak. Semoga hidupmu tidak akan pernah tenang disana. Selamanya.."
Ku ayunkan kapak itu ke arah Pak Deni. Ia menjerit. Sebelah bola matanya melotot seperti ingin mencuat keluar. Dengan cepat kapak itu langsung tertancap ke tengkorak Pak Deni. Melintang membelah kepalanya. Dan seketika itu pula ia mati.

end/to be continue?

Minggu, 06 Mei 2012

IMPIAN EVAN

(naskah drama untuk paskah)


PROLOG : Ini adalah sebuah kisah dari seorang anak manusia yang selalu percaya pada kuasa Tuhan. Ia memiliki sebuah impian. Impian yang begitu polos. Impian yang mustahil terwujud. Impian yang dengan mudahnya orang lain tertawakan dan sepelekan. Tapi itulah impiannya. Ia adalah satu dari sekian anak yang akan membuat hal tak mungkin menjadi mungkin.
Di bawah sebuah fly over, anak-anak pengamen, pengemis, dan anak dari kalangan tak mampu berkumpul disana. Mereka sedang belajar dengan seorang guru sukarelawan.
Pak Guru              : “Anak-anak, Bapak ingin bercerita sedikit. Kalian tahu mengapa Bapak menjadi guru?”
Anak-anak          : (duduk berjejer setengah lingkaran)
“Tidak, Pak”
Ira                           : “Memangnya kenapa, Pak?”
Pak Guru              : “Sejak dulu Bapak memiliki sebuah impian. Impian kecil yang perjuangannya cukup besar”
Galih                     : (melepas emutan permen)
“Wah, iya Pak? Apa impian Bapak?”
Pak Guru              : “Bapak tidak mau melihat anak yang tak bisa membaca atau menulis”
Roni                       : (heran)
“Ha? Cuma itu, Pak?”
Pak Guru              : (tersenyum)
“Iya, hanya itu. Impian yang begitu kecil bukan? Tapi perjuangannya memang tak mudah. Dan sekarang pun Bapak didepan kalian sedang berjuang. Dan sekarang giliran Bapak yang ingin tahu, apa impian kalian? Mulai dari kamu, Dimas”
Dimas                   : (terkejut dan mengarahkan telunjuk ke arah diri sendiri)
“Saya, Pak?”
(bangkit)
“Saya pengen jadi Pilot Pak! Supaya bisa jalan-jalan keliling dunia”
(membentangkan tangan dan berlari-lari berkeliling)
Roni                       : “Kalo saya maunya jadi orang kaya Pak! Biar gak disuruh ngemis-ngemis lagi”
                                (membuka telapak tangan)
“dan bisa beli sepatu yang bagus! Gak pake sendal jepit terus”
(menunjuk-nunjuk kakinya)
Pak Guru              : (menghentikan Dimas dengan menarik tangannya)
“Impian kamu hebat Dimas”
Dimas                   : (kembali duduk sambil tertawa-tawa)
Pak Guru              : Roni, tidak selamanya memliki segalanya akan menjamin kebahagianmu. Uang bukan lah segalanya di dunia ini”
Roni                       : (menggaruk-garuk kepala)
“Iya sih Pak. Tapi saya tetep maunya jadi orang kaya! Asal ada duit, saya seneng kok”
(menggesek-gesek antara jari telunjuk dan ibu jari tangan kanannya)
Ira                           : (memukul tangan Roni)
“Dasar pengemis matre! Kalau saya mau jadi Guru. Saya ingin seperti Bapak, mengajar anak-anak yang nasibnya sama seperti saya”
Roni                       : “Dasar gak kreatif! Ngikut-ngikut Pak Guru doang”
Ira                           : “Enak aja! Gue serius tauk!”
Pak Guru              : “Sudah, sudah jangan bertengkar. Ira, impian kamu bagus. Bapak bangga dengan kamu. Tapi kamu harus rajin belajar agar kamu bisa memiliki banyak ilmu yang dapat kamu bagikan ke orang lain. Lalu Galih, apa impian kamu?”
Galih                     : (sambil mengemut permen)
“Saya mau jadi tukang bakso Pak. Supaya bisa makan bakso tiap hari”
Anak-anak          : (tertawa)
Pak Guru              : “Galih, kamu ada-ada saja. Lalu Evan, apa impian mu? Bapak lihat sejak tadi kamu diam saja”
Evan                      : (bingung)
“Impian ya Pak? Apa ya Pak? Dokter mungkin? ”
Roni                       : “Serius apa lu bakal jadi Dokter? Yang ada pasiennya gak sembuh-sembuh kalo dokternya model lo”
Evan                      : “Enak aja lo!”
Pak Guru              : “Impian kamu bagus Evan. Tapi sepertinya kamu belum yakin. Kamu bisa memberikan alasannya pada Bapak?”
Evan                      : (geleng-geleng)
Pak Guru              : “Kamu harus serius mengejar impianmu. Kalau kamu sudah tau apa alasannya, beritahu Bapak ya?”
                                (menepuk pundak Evan)
Setelah sekolah, Evan pun pulang ke rumah.  Ia langsung menemui ibunya. Seperti biasanya, ia akan menceritakan semua yang ia alami dii sekolah terbuka pada ibunya.
Evan                      : “Ibu lagi bikin kue ya?”
                                (memangku tangan)
Ibu                         : (sibuk membuat kue)
“Iya, mau ibu jual ke pasar nanti sore. Nanti kamu bantu Ibu jualan keliling ya?”
Evan                      : (mengangguk)
“Bu, masa tadi Pak Guru nanya impian Evan”
Ibu                         : “Terus kamu jawab apa?”
Evan                      : “Evan bilang mau jadi dokter”
Ibu                         : (mengayunkan tangan)
“Ngaco kamu! Mana mungkin..”
Bu Tanti               : (datang panik dan tergesah-gesah)
“Bu, Bu, gawat Bu!”
Ibu                         : (bingung)
“Ada apa Bu Tanti?”
Evan                      : (bangkit dan bingung)
Bu Tanti               : “Suami Ibu, Pak Trisna kecelakaan! Katanya jatuh dari kontruksi bangunan pas kerja!”
Ibu                         : “APA?!”
                                (terjatuh)
                                “Ayah..”
                                (menangis histeris)
Evan                      : (memeluk Ibu)
Dua minggu setelah kematian Ayahnya, Evan sangat sedih. Namun, ibunya jauh lebih sedih. Tak mau makan, dan hanya duduk di kursi sambil menatap kosong ke depan. Evan semakin sedih melihat ibunya jatuh sakit.
Evan                      : “Bu, makanlah sedikit supaya Ibu tak sakit”
                                (menyodorkan mangkuk)
Ibu                         : (tak bergeming)
Evan                      : “Bu, Ibu tak boleh seperti ini. Ibu harus sehat”
                                (mengguncang pelan lengan ibu)
“Sebentar lagi Natal. Ibu harus sembuh. Kalau ibu sehat, kita bisa buat kue sama-sama seperi tahun lalu”
                                (sambil menangis dan menyuapi Ibu)
                                “Bu, Evan ga mau Natal sendirian. Ibu harus sehat dan nemenin Evan”
Semakin lama, kondisi Ibu semakin memburuk. Evan yang tak memilikii uang akhirnya berjualan kue keliling. Namun saat sedang berjualan, Evan bertemu dengan Pak Guru.
Evan                      : (duduk sambil menghitung uang)
Pak Guru              : (menghampiri Evan)
                                “Evan? Sedang apa kamu disini?”
Evan                      : (kaget)
                                “Pak Guru?”
                                (bingung)
“Saya… sedang jualan kue Pak”
Pak Guru              : “Kamu kemana saja selama ini? Sudah tiga minggu kamu tidak ikut sekolah. Ada apa memangnya?”
Evan                      : (menunduk)
“Sejak Ayah saya meninggal, Ibu saja jadi sakit-sakitan. Saya ga punya uang Pak. Makanya saya jualan untuk beli obat buat Ibu”
Pak Guru              : (berjongkok)
“Kenapa kamu tidak mengabari Bapak?”
Evan                      : “Maaf Pak. Saya memang sedih saat Ayah saya meninggal, tapi Ibu yang paling sedih sampai dia sakit. Dan melihat Ibu yang sakit-sakitan, saya yang paling sedih”
Pak Guru              : (menepuk-nepuk bahu Evan)
“Tabahlah Evan. Sekarang Tuhan sedang mengujimu”
Evan                      : “Iya, Pak”
Pak Guru              : (bangkit)
“Evan, kamu ingat? Waktu itu kamu pernah bilang bahwa kamu ingin menjadi dokter”
Evan                      : (bingung)
                                “Iya, Pak. Tapi itu mustahil Pak”
Pak Guru              : (berjalan-jalan sedikit)
“Mengapa mustahil? Kamu tahu pekerjaan seorang dokter? Mengobati orang sakit, bukan?”
(berhenti berjalan dan kembali berjongkok)
“Evan, percaya lah, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Kalau kamu tidak percaya, kamu bisa membuktikannya, dengan cara mewujudkan impian mu”
Evan                      : (diam)
                                “Pak”
Pak Guru              : “Ya?”
Evan                      : “Mungkin sekarang saya bisa memberikan alasan kenapa saya ingin menjadi dokter”
Pak Guru              : “Benarkah? Apa itu?”
Evan                      : “Saya ingin menyembuhkan Ibu saya”
                                (bangkit)
                                “Pak, saya harus pulang kerumah. Terimakasih Pak”
                                (mencium tangan Pak Guru dan langsung pergi)
Evan pun berlari menuju rumahnya. Ia ingin secepatnya menemui Ibu nya dan mengatakan sesuatu pada Ibu nya.
Evan                      : “Bu, Evan pulang!”
                                (meletakkan nampan dan berlari menghampiri Ibu)
Ibu                         : (menengok dan tersenyum)
Evan                      : (berlutut disamping kursi Ibu)
“Bu, dulu Evan pernah bilang kan kalau Evan pengen jadi dokter? Ibu bilang gak mungkin. Tapi Evan yakin Evan bisa!”
                                (menggenggam tangan Ibu)
“Bu, Evan pasti akan jadi dokter. Evan bakal nyembuhin Ibu. Pokoknya Evan yang bakal ngerawat Ibu sampe Ibu sembuh. Ibu pasti sembuh! Ibu pasti sehat lagi”
                                (menunduk)
                                “Bu, Evan sayang Ibu. Percaya sama Evan. Evan pasti akan jadi dokter!”
Ibu                         : (tersenyum dan mengusap kepala Evan)
Evan mulai masuk ke sekolah umum berkat bantuan Pak Guru. Di pagi hari, Evan belajar di sekolah. Pulangnya, Evan berjualan kue untuk tambahan membeli obat Ibunya. Pak Guru selalu membantu Evan, mulai dari menyekolahkan Evan, membiayai hidup Evan dan juga Ibunya, serta membawa Ibunya ke rumah sakit. Evan adalah anak yang rajin dan pantang menyerah. Ia terus berusaha tanpa kenal lelah demi mencapai impiannya. Sepuluh tahun berlalu setelah janji Evan pada Ibunya.
MONOLOG :
Evan                      : “Hai, Bu. Apa kabar? Aku datang lebih cepat karena tak sabar ingin bertemu denganmu”
                                (tersenyum)
“Bu, lihat lah aku.  Pakaian ku rapih dan bersih. Tidak kumal, tidak robek, dan tidak bau.”
(mengusap bahu dan mengendus lengan baju)
“Bu, lihat lah aku. Rambut ku rapih. Tidak seperti dulu, kasar dan berantakan. Sekarang juga aku pakai sepatu. Tidak seperti dulu, hanya memakai sendal jepit”
(mengangkat sedikit sepatunya)
“Bu lihat lah aku. Aku memakai jas putih. Ibu tahu orang-orang seperti apa yang memakai jas putih? Ya, Dokter Bu”
                                (diam)
“Bu, sudah sepuluh tahun setelah janjiku untuk menjadi dokter. Aku tak pernah lupa janji itu. Karena Ibu adalah alasan mengapa aku bisa sampai disini sekarang. Aku ingat, dulu aku bercerita pada Ibu bahwa Pak Guru menanyakan apa impianku. Waktu itu aku hanya menjawab sekenanya. Ibu pun juga berkata tak mungkin. Tapi lihatlah siapa yang sekarang berdiri ini? Ini anak mu, Bu. Anak mu yang memakai jas putih ini”
(menepuk-nepuk ke arah dada)
“Bu, mungkin saat aku dewasa seperti sekarang, kata-kata ku pada mu memang terdengar lucu. Impian seorang anak miskin yang Ayahnya kuli bangunan dan meninggal saat kerja, lalu Ibu nya hanya seorang penjual kue keliling. Anak itu dengan polosnya berkata “Bu, Evan pasti akan jadi dokter. Evan bakal nyembuhin Ibu. Pokoknya Evan yang bakal ngerawat Ibu sampe Ibu sembuh”. Terdengar seperti “Aku ingin jadi dokter supaya bisa nyembuhin Ibu ku yang sakit”. Lucu bukan? Ibu juga pasti akan tertawa jika mengingat kata-kata ku yang polos itu. Tapi, Bu, kata-kata itu sudah menjadi alasan ku disini sekarang.
                                (berjongkok)
“Bu, lihat lah. Aku bawa bunga mawar untuk mu. Dulu Ibu bilang ingin memajang bunga mawar di meja. Namun karena aku tak punya uang, aku hanya mampu membuat bunga dari kertas yang kubuat bersama Ira, Dimas,Roni dan Galih saat ulang tahun mu.
                                (menangis)
“Bu, maafkan aku. Aku tak berhasil mencapai impianku. Aku tak bisa menjadi dokter yang merawat Ibu sampai Ibu sembuh. Maafkan aku, Bu. Aku tak bisa lebih cepat menjadi dokter dan menolongmu. Maafkan aku. Aku terlambat. Maaf, Bu”
                                (berhenti menangis)
“Bu, sekarang aku punya sebuah impian baru. Aku ingin menolong orang-orang yang bernasib sama dengan Ibu. Aku pasti akan membantu mereka. Lihat lah aku, Bu. Aku akan membayar janji ku yang tak tercapai padamu”
                                (meletakkan bunga mawar)
                                “Selamat tinggal, Bu. Evan sayang Ibu”


-end-

Senin, 19 Maret 2012

PSYCHO (part 1)


"Orang jahat tak pantas hidup, tapi kematian lebih tak pantas untuknya. Biarlah ia hidup di dunia, biarlah ia terus berbuat jahat, biarlah dosa-dosanya semakin menumpuk dan menumpuk. Hingga suatu saat nanti ia dipanggil-Nya dengan bergunung-gunung dosa. Maka neraka lah tempat yang paling pantas bagi orang-orang seperti itu"

Aku Rika, siswi SMA kelas 2. Dulu aku adalah seorang pembunuh. Seorang psikopat lebih tepatnya. Aku suka menyiksa orang jahat, apalagi orang-orang keji dan hina yang hidup di sekelilingku. Aku sering menculik mereka, membawa mereka ke sebuah rumah yang tak berpenghuni, mengikat tangan dan kaki mereka, lalu menguliti wajah mereka, mencongkel bola mata mereka, atau mengiris telinga dan jari-jari tangan mereka. Biarlah mereka menangis, menjerit kesakitan dan memohon. Ya aku memang sengaja tak membekap mereka karena jeritan-jeritan mereka adalah nada yang begitu indah dan merdu di telinga ku. Suara yang begitu membuatku kecanduan. Air mata mereka bagai cucuran air sungai yang begitu elok di mataku. Membuatku terus melakukannya agar aku dapat melihat air mata itu mengalir deras. Lagi dan lagi. Dan darah-darah merah segar yang mengalir bagaikan minuman yang memabukkan untuk ku, begitu nikmatnya di tenggorokan ku. Sampai aku bosan bermain-main dengan mereka, lalu ku robek dada mereka dan ku ambil jantung mereka yang masih bersatu dengan tubuh mereka. Ku genggam dan ku remas seperti aku meremas balon hingga balon itu meledak. Ya hingga jantung itu berhenti berdetak. Aku paling suka bagian ini karena darah-darah segar pasti akan bermuncratan kemana-mana. Mengenai wajah dan seluruh tubuhku. Aku suka bermandikan minuman yang paling ku suka.
Buat ku itu adalah sebuah penghukuman di dunia bagi mereka-mereka yang berbuat jahat di dunia. Mereka pantas mendapatkan hal itu. Dan aku berharap di nereka sana mereka mendapat siksaan yang lebih di banding yang aku lakukan. Tapi akhir-akhir ini aku mulai berpikir, yang kulakukan sepertinya telah membuat suatu keuntungan bagi mereka-mereka makhluk keji dan hina. Aku berfikir, mereka memang tak pantas hidup, tapi kematian lebih tak pantas untuk mereka. Lebih baik mereka terus hidup dan menghabiskan hidupnya dengan terus berbuat kejahatan, hingga sampai akhirnya dosanya menumpuk-numpuk dan mereka akan terjeblos ke neraka selamanya.
"Hai Rika, mau pulang ya?"
"Ya"
"Bareng yuk"
Sifa adalah orang yang selalu baik pada ku. Ia tak pernah mencium bau pembunuh dalam diriku ini. Ya, karena aku menutupinya dengan tidak bergaul dengan orang lain dan selalu menyendiri. Tapi Sifa selalu melihat ku sendirian dan ia satu-satunya anak yang berani mendekati ku. Ia juga tak pernah perduli dengan gosip-gosip tentang aku yang katanya adalah psikopat, meskipun itu benar adanya dan aku sendiri mengakui hal itu. Dia terlalu baik.
"Lo Sifa?"
"Iya, ada apa?"
"Ikut kita bentar ya"
Tiba-tiba Sifa di tarik paksa oleh segerombolan perempuan. Mereka mengajak Sifa ke halaman belakang gedung sekolah.
"Sepertinya menarik" ucapku dalam hati.
Aku pun mengikuti mereka diam-diam dan mencuri dengar percakapan mereka sambil memasang kamera handphone ku yang siap merekam.
"Hei anak centil! Kemaren sore lo ngobrol sama Rendi kan? Rendi tuh cowok gue!"
"Iya jangan kecentilan ya?! Dasar anak miskin belagu!"
"Ap-apa? Dia cuman tanya soal PR kok. Aku gak ngapa-ngapain!"
"Gausah banyak alasan deh! Dasar anak miskin belagu! Lo bisa sekolah disini itu juga karna nyokap lo tukang sapu disekolah ini kan?! Ibu sama anak sama aja ya, sama-sama gak tau diri!"
"Cukup! Kalian boleh hina aku, tapi jangan ngata-ngatain Ibu aku!"
"Cih, berani ngelawan! Hajar aja temen-temen"
Dan setelah itu perempuan-perempuan itu menjambak, memukul, menendang Sifa hingga darah segar keluar dari bagian-bagian tubuhnya. Sifa terjatuh tak berdaya dan menangis. Aku pun menghentikan rekaman ku.
"Udah cukup temen-temen. Kita cabut sebelum ada yang liat"
"Sekali lagi gue liat lo deket-deket sama Rendi, lo mati di tangan gue! Cuh!"
Sifa menangis, ia dipukul, ditendang, dihina bahkan di ludahi. Aku pelan-pelan menghampirinya, mengulurkan sapu tanganku untuknya.
"Ma-makasih Rika. Kamu liat yang barusan ya?"
"Ya"
"To-tolong jangan bilang ke siapa-siapa ya. Apa lagi di aduin sama guru"
"Kenapa?"
"Biar aja, aku gak apa kok. Aku cuma takut mereka makin marah dan sasarannya bukan aku lagi, tapi Ibu ku"
"Yasudah"
"Terimakasih ya"
"Bukan masalah"
"Emm, Rika. Hari ini aku boleh nginap dirumah kamu?"
"Untuk apa?"
"A-aku takut pulang dengan keadaan begini, aku takut bikin Ibu cemas... Te-tenang aja, aku gak akan ngerepotin kok. Kalau kamu ke ganggu, kamu bilang aja aku bisa tidur di teras depan rumah kamu kok"
"Ya, boleh"
"Te-terimakasih Rika"
Aku memang pembunuh, jiwa yang penuh dendam. Aku tak akan perduli dengan orang jahat yang di siksa atau mati di depan ku. Itu malah suatu kesenangan bagi diriku. Tapi, aku tak bisa bersikap tak perduli pada orang baik.
"Kamu tidur sekamar dengan ku aja, maaf kamarku berantakan"
"I-iya makasih ya.. Maaf aku ngerepotin"
"Gak masalah"
"Em, Rika. Foto-foto yang di dinding kamu ini, foto-foto murid sekolah kita yang meninggal dua bulan lalu kan ya?"
"Ya"
"Lalu ini kan guru kita yang meninggal empat bulan lalu"
"Ya"
"Kenapa kamu punya foto-foto mereka?"
"Entah" Jawab ku dengan tatapan sinis.
Aku tak suka Sifa yang mengorek-ngorek tentang diriku. Kalau ia mulai percaya pada gosip yang mengatakan aku adalah psikopat, toh aku tak perduli. Malam ini ia akan sekamar dengan seorang pembunuh. Sekalipun ia akan berbuat macam-macam padaku atau mencoba untuk mengumbar-umbar info yang sebenarnya, ku jamin malam ini ia tak akan sempat. Sebilah pisau sudah ku simpan di bawah bantal ku.
"Ma-maaf ya aku udah tanya-tanya. Itu kan privasi kamu"
"Ya"
"Rika..."
"Ya"
"Maaf ya aku sedikit bohong sama kamu. Sebenernya aku gak mau pulang kerumah bukan karena takut Ibu khawatir, tapi aku takut sama Bapak"
"Kenapa?"
"Bapak ku sering mabuk-mabukan dan berjudi, sering juga dia gak pulang. Sekalinya pulang cuma minta uang dan mukulin aku kalau ia mabuk atau gak di kasih uang sama Ibu. Ibu juga jadi sering mukulin aku karena kesel sama Bapak. Aku jadi pelampiasan mereka berdua. Makanya aku takut kalo pulang kerumah"
"...."
"Eh, maaf ya aku jadi cerita gini. Aku gak maksud apa-apa kok. Aku cuman kadang capek sama hidup yang begini"
"Kalau kamu mati, kamu bahagia?"
"Emm... Mungkin. Haha tapi aku masih gak tega ninggalin Ibu. Dia juga udah mulai tua, kalo dia sakit nanti gak ada yang jagain"
"...."
"Tidur yuk"
"Ya"
Sifa itu bukan orang jahat. Tapi hidupnya ironis. Apa orang baik dan sabar seperti dia memang lebih bahagia jika mati? Sudah jam 1.45 malam dan aku belum terlelap. Aku bangun dan menatap Sifa yang sedang tidur di bawah kasur ku.
"Aku ingin membantu mu" ucapku sambil mengambil pisau yang ada dibawah bantal ku.
"Kau orang baik. Orang baik seperti mu tak pantas hidup dengan keadaan seperti ini. Dunia bukanlah tempatmu. Biarlah kau hidup tenang di alam sana. Akan ku bantu agar kau tak menginjakkan kaki di neraka"
Aku pun bangkit dari kasur ku dan mulai mendekati Sifa.
"Semoga kau bahagia" Ucapku sambil menusukkan pisau yang ku genggam ke arah Sifa tepat di jantungnya.
Sifa, kau adalah orang baik. Orang baik seperti mu tak boleh hidup di dunia dengan keadaan seperti ini. Kau lebih baik mati dan hidup tenang di alam sana. Orang baik dan sabar seperti mu aku yakin tak akan terjeblos ke neraka. Aku tak perlu menyiksa mu karena aku memang ingin membantu mu. Yaitu dengan membunuhmu. Yang seharusnya tersiksa adalah orang-orang yang telah berbuat jahat pada mu dan mereka akan mendapatkannya sekarang.
"TOK TOK TOOOK"
"Ya masuk"
"Ada perlu apa Pak manggil kita kesini?"
"Nisa, Wanda dan Iren, Bapak memanggil kalian untuk memperlihatkan rekaman video serta surat yang ditujukkan pada kalian. Lihat ini"
"I.. Ini.."
"Siapa yang ngerekam Pak?! Siapa yang ngirim?"
"Kalian baca lah surat ini dulu"
"Untuk kalian semua yang telah jahat padanya, menyiksa hidupnya dan membuatnya tak sanggup hidup lagi. Kalian tak pantas hidup, tapi kematian lebih tak pantas untuk kalian. Teruslah hidup di dunia diatas bayang-bayang kematiannya dan rasa ketakutan kalian atas arwahnya."
"Video dan surat ini dikirim tadi pagi, entah siapa pengirimnya. Setelah kami selidiki, ternyata mayat Sifa ada di teras rumahnya. Surat yang sama juga ditemukan di saku baju Sifa. Dari hasil otopsi, banyak luka-luka di sekujur tubuh Sifa dan bekas tusukkan pisau di perutnya. Video tadi juga sudah di periksa oleh kepolisian dan dari pemeriksaan, Sifa di aniaya oleh kalian dan lalu dibunuh oleh kalian"
"Ta-tapi.. Itu gak mungkin Pak!"
"Kami tidak membunuh Sifa Pak!"
"Kami mengaku kami memang menganiaya Sifa tapi kami tak membunuh Sifa!"
"Iya Pak! Surat itu pasti bohong! Kami tidak membunuh Sifa"
"TOK TOOK TOOK"
"Permisi, Pak. Kami telah memeriksa tempat kejadian di video itu. Kami menemukan sebilah pisau dengan darah yang sedikit mengering di halaman belakang tersebut"
"Gak! Gak mungkin!"
"Kami bukan pembunuh!"
"Kami tidak membunuh Pak!"
"Maaf nak, tapi sekolah secara resmi mengeluarkan kalian bertiga"
"Tolong kalian bertiga ikut kami ke kantor Polisi. Bawa mereka ke mobil"
"Siap Pak"
"Enggak mau! Gue bukan pembunuh!"
"Enggak! Enggaaak! Saya gak ngebunuh Sifa!"
"Lepasin saya! Lepasin!"
Sekolah begitu gaduh dan ramai melihat pemandangan tiga anak perempuan di giring Polisi sambil di borgol. Mereka yang menonton menghujat tiga gadis itu. Ya, kabar tentang video dan surat yang dikirim ke kepala sekolah oleh orang tak dikenal sudah menyebar ke seluruh murid.
"Dasar pembunuh!"
"Perempuan gak punya hati! Pembunuh!"
"Kalian menjijikan! Bisa-bisanya ngebunuh cewe cuman karena cowo! Biar arwah Sifa gentayangin kalian!"
"Kalian seharusnya juga disiksa dan mati! Biar ngerasain apa yang dirasain Sifa!"
Mereka semua mengerumuni tiga gadis itu. Ada yang menatap jijik, menatap rendah, menatap penuh amarah, menangis, menggapai-gapai ingin mencekik tiga gadis itu, melempari tiga gadis itu dengan sampah-sampah busuk, bahkan mengutuki tiga gadis itu. Tiga gadis itu hanya menunduk, menangis, dan ketakutan. Aku hanya melihat dari kejauhan. Aku tersenyum. Inilah kebahagian yang paling aku sukai. Melihat orang-orang jahat menderita dan tersiksa.
"Baguslah. Mereka tak akan hidup dengan tenang" ucapku dalam hati.
Aku segera bergegas pergi meninggalkan sekolah. Tak perduli jam pelajaran masih berlangsung. Hanya ingin mencari kesenangan yang lain. Dan aku tiba di rumah Sifa. Rumahnya sepi seperti tak berpenghuni. Aku pun masuk kedalam untuk sekedar memastikan.
"Anak ku! Kau hidup nak? Kau masih hidup kan?!" Tiba-tiba seorang ibu-ibu dengan penampilan lusuh dan terlihat sinting menggenggam tanganku. Ya, itu adalah ibu-ibu yang suka membersihkan halaman depan sekolah ku. Ibunya Sifa. "Nak, maafin ibu nak maafin ibu!" ucapnya sambil memelukku. "Bapak mu sekarang sudah pulang, lihat lah nak. Ayo kemari ikut ibu" ia menarikku ke sebuah ruangan. "Ibu siapin kamu makan dulu ya" ucapnya sambil pergi.
Aku pun masuk ke ruangan yang ia maksud dan aku sedikit terkejut. Laki-laki yang disebut-sebut "Bapak" oleh ibu-ibu tersebut adalah mayat yang kepala, badan, tangan kanan serta kaki kirinya terpisah, bersender di sudut ruangan itu. Jari-jari kaki serta bola matanya sudah tak ada. Dari perutnya keluar usus-ususnya. Tengkorak kepalanya pecah, sebagian otaknya seperti di potong-potong, berceceran di dekat tangan kanannya yang terpisah dari tubuhnya. Lengan kirinya sudah tak berkulit dan berdaging, hanya tulang yang terbalut darah. Paha kanan dan betisnya sepertinya sudah dikuliti, hanya terlihat daging-daging dan darahnya. Sepertinya Ibu itu sendiri yang melakukannya dan dari sikapnya yang menganggap aku adalah anaknya, sepertinya ibu itu mengalami gangguan kejiwaan.
"Kau memang tak pantas hidup. Tapi kematian lebih tak pantas untukmu. Aku lebih senang kau hidup dengan menanggung beban dan tersiksa dibawah bayang-bayang kematian dibanding kau mati dengan tenang" Aku pun tersenyum puas. Lalu aku pergi meninggalkan rumah itu.
-to be continue-